Jelang Peringatan Hari Reformasi, kiranya hal ini dapat menjadi bahan evaluasi dalam proyeksi positif bagi semua. Khususnya bagi para mahasiswa, yang mengemban amanah sebagai agent of change dan agent of social control. Dekadensi sendiri merupakan wacana yang senantiasa mengemuka, kala nostalgia gerakan 1998 selalu diperingati setiap tahunnya.
Patut dipahami, bahwa dekadensi setiap waktu terus terjadi seiring perubahan zaman dan pola pikir moralitas intelektualnya. Tidak terkecuali bagi mahasiswa, yang mempunyai peran utama dalam menjaga bangsa dari pergeseran ideologisnya. Inilah yang dengan tegas dikemukakan oleh Soe Hok Gie, ketika banyak melihat rekan seperjuangannya (mahasiswa) mulai tertarik dengan kekuasaan.
Kekuasaan yang tak lain berada dalam lingkungan pemerintahan tentunya. Dimana hal ini dianggapnya sebagai bagian dari dekadensi moral para intelektual muda kala itu. Bagi aktivis angkatan '66 ini, hal itu diproyeksikan sebagai bentuk pergeseran arah juang dari mahasiswa yang seharusnya berlaku independen dan tidak terlibat dalam lingkar kuasa (Catatan Seorang Demonstran-Gie).
Bahkan Gie disebutkan pernah memberi kado kepada rekan aktivis mahasiswa dengan isi seperangkat alat rias. Ini adalah kritik Gie yang dilampiaskan bagi "para pesolek", di era transisi tahun '66. Sudah semestinya mahasiswa menjadi individu yang merdeka, seperti apa yang menjadi idealismenya sebagai intelektual muda.
Realitas serupa pun dihadapi oleh para aktivis mahasiswa angkatan 74 (Malari). Melalui ulasannya Bergerak Bersama Rakyat: Sebuah Gerakan Mahasiswa dan Perubahan Sosial di Indonesia, Suharsih dan Ign. Mahendra menerangkan bahwa sejak tahun 1970, sudah banyak mahasiswa memilih untuk berbaur dengan relasi kekuasaan. Apalagi setelah Malari meletus di tahun 1974.
Persoalan dekadensi moral inilah yang kemudian menjadi kritik W.S. Rendra dalam sajak "Pertemuan Mahasiswa", pada tahun 1977. Bagaimana tugas dan peran mahasiswa sebagai punggawa moralitas sosial semestinya harus sesuai dengan peranannya membangun bangsa. Bukan justru "lebay" dengan kebijakan-kebijakan tanpa ada kritik yang positif.
Jadi setelah 3 tahun Malari berakhir, W.S. Rendra tidak kendur dalam menyuarakan pesan-pesannya kepada para mahasiswa. Kala itu sajak "Sebatang Lisong", yang mengkisahkan fenomena sosial pada masa itu, menjadi senjata kritiknya melalui panggung-panggung budaya. Walaupun bui adalah ganjaran untuk sikap kritisnya sejak tahun '70an.
Seakan sejarah senantiasa berulang setiap masanya. Pun demikian kala Reformasi 1998 bergulir, kita tentu paham siapa saja para tokoh gerakan mahasiswa yang kini berada dalam lingkaran kekuasaan. Banyak hal yang harus dikoreksi sebagai kritik terhadap arah juang gerakan intelektual dalam konsep sosial kenegaraan.
Tidak semestinya berubah arah seiring kepentingan zaman dengan meninggalkan prinsip idealismenya sebagai aktor intelektual. Tentunya agar demokratisasi dapat berjalan sesuai dengan kepentingan rakyat, dan justru bukan sebaliknya. Anggapan bahwa semangat Reformasi sudah usai seiring berakhirnya kepemimpinan Presiden Soeharto, pun dirasa tidak tepat.
Ada harapan yang terus terpatri dalam semangat juang intelektual muda (mahasiswa) yang harus terus dijaga untuk dilestarikan. Berbagai harapan para pahlawan Reformasi yang gugur pada masanya. Agar tidak sirna ditelan kepentingan zaman. Ini kiranya apa yang menjadi kritik utama dalam realitas dekadensi gerakan mahasiswa saat ini.
Semangat juang menjaga demokrasi agar dapat tetap berjalan sesuai rule-nya. Memulai dari rakyat, dengan berbagai bentuk edukasi dan penyadaran terhadap upaya pencapaian hak-haknya atas kewajiban. Bukan justru meninggalkan kewajiban yang sudah menjadi tugasnya di tengah masyarakat marjinal. Hal ini tentu saja berangkat dari realitas dependensi sosial-politik belakangan ini.
Ketergantungan terhadap edukasi yang mengarahkan kepada konsep berbangsa dan bernegara dengan prinsip keadilan sosial. Arus perkembangan zaman modern dan digital, jangan sampai justru menggeser konsep agent of change dan agent of sosial control. Walau secara pragmatis, orientasi tersebut tidak lagi menjadi opsi perjuangan kalangan intelektual secara objektif kini.
Realita membangun konsep sosial berkemajuan justru kerap terhenti dalam aksi yang bersifat karitatif, bukanlah mengarah kepada aksi yang transformatif. Ini adalah tolok ukur yang menjadi pedoman, melalui berbagai kegiatan mahasiswa yang berorientasi kepada value. Walau tidak menafikan bahwa masih banyak pejuang-pejuang intelektual lain yang berdiri atas idealismenya.
Masyarakat harus tetap diedukasi dan didampingi dengan sikap anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual. Tentu dengan orientasi luasnya, adalah masyarakat itu sendiri. Agar wacana dekadensi tidak senantiasa muncul dalam setiap momen refleksi gerakan mahasiswa. "Karena perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata", seperti yang diutarakan oleh W.S. Rendra.
Selamat memperingati 25 tahun Reformasi '98. Semoga senantiasa terjaga idealisme kaum intelektual hari ini dan masa nanti. Terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H