Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

25 Tahun Reformasi yang "Tak" Menarik

17 Mei 2023   12:15 Diperbarui: 17 Mei 2023   12:34 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bulan Mei 1998, kiranya adalah puncak kerusuhan sosial yang pernah terjadi di Indonesia. Sebuah peristiwa yang terangkai pada narasi masa Reformasi, dan identik dengan proses pergantian kekuasaan. Sebagai titik penting jatuhnya masa Orde Baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.

Inilah fase puncak dari peristiwa Reformasi, beserta berbagai peristiwa yang melatarbelakanginya. Kita tentu tidak lupa pada peristiwa Trisakti, yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Empat mahasiswa yang gugur dalam memperjuangkan Reformasi, walau sampai saat ini dikatakan belum mendapatkan keadilan yang sempurna.

Bahkan sebelumnya juga di Jogja, telah terjadi aksi kekerasan terhadap para mahasiswa yang melancarkan demonstrasi. Hingga menyebabkan Moses Gatutkaca meninggal dunia. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Huru Hara Gejayan.

Peristiwa yang memantik pertikaian massal antara pihak penguasa dengan rakyat. Melambungnya harga sembako dan kebutuhan hidup lainnya memang menjadi pemicu terjadinya penjarahan di berbagai daerah. Aksi-aksi penjarahan yang disertai berbagai aksi kekerasan ini pun tecatat terjadi di Jakarta, Medan, dan Solo.

Parahnya, bukan sekedar menargetkan pusat pembelanjaan dan toko-toko kebutuhan pokok, melainkan ke arah sentimen rasialis. Khususnya terhadap masyarakat Tionghoa, yang kerap menjadi sasaran amuk massa. Inilah titik balik terjadinya eksodus besar-besaran masyarakat Tionghoa dari Indonesia. Demikianlah sejarah Indonesia mencatatnya.

Bukan hanya kekerasan fisik, kekerasan verbal yang menimbulkan trauma digambarkan sangat mengerikan. Pemerkosaan terjadi dimana-mana, bahkan menjurus kepada aksi pembunuhan. Mereka yang dicurigai sebagai "antek" asing pun tak luput dari target amuk massa. Begitupula terhadap para jurnalis, yang selalu meliput berbagai peristiwa di lapangan secara langsung.

Nyaris tidak ada perlindungan hukum, karena kala itu penegakkan hukum tengah stag sebagai akibat dari pergeseran kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika banyak terjadi pelanggaran HAM antar manusia. Hingga pada bulan-bulan berikutnya, baik dalam peristiwa Semanggi atau kasus penculikan para aktivis.

Namun, apakah makna dari semangat Reformasi kini telah mencapai titik puncaknya? Atau mungkin sudah usai, seiring euforia Reformasi yang bias tujuan. Apalagi jika melihat realitas demokratisasi saat ini, yang dapat dikatakan telah jauh dari cita-cita para pejuang Reformasi dulu.

Sedianya memang, para pentolan aktivis 98, telah banyak yang duduk dalam panggung parlemen atau pemerintahan. Ini kiranya sebagai bentuk koreksi dari apa yang diperjuangkan pada masa lalu. Bahkan dalam konteks pertentangan terhadap KKN, yang kini konon makin merajalela.

Narasi Reformasi bukanlah hal yang dapat memantik semangat berdemokrasi kini. Karena hampir setiap aspek ruang aspirasi bukan lagi bermuara pada kepentingan rakyat. Melainkan hanya fokus kepada kepentingan kelompok atau golongan. Pun dengan para wakil rakyat, yang rata-rata mengalami secara langsung peristiwa Reformasi kala itu seperti apa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun