Bulan Mei 1998, kiranya adalah puncak kerusuhan sosial yang pernah terjadi di Indonesia. Sebuah peristiwa yang terangkai pada narasi masa Reformasi, dan identik dengan proses pergantian kekuasaan. Sebagai titik penting jatuhnya masa Orde Baru, yang telah berkuasa selama 32 tahun lamanya.
Inilah fase puncak dari peristiwa Reformasi, beserta berbagai peristiwa yang melatarbelakanginya. Kita tentu tidak lupa pada peristiwa Trisakti, yang terjadi pada tanggal 12 Mei 1998. Empat mahasiswa yang gugur dalam memperjuangkan Reformasi, walau sampai saat ini dikatakan belum mendapatkan keadilan yang sempurna.
Bahkan sebelumnya juga di Jogja, telah terjadi aksi kekerasan terhadap para mahasiswa yang melancarkan demonstrasi. Hingga menyebabkan Moses Gatutkaca meninggal dunia. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan istilah Huru Hara Gejayan.
Peristiwa yang memantik pertikaian massal antara pihak penguasa dengan rakyat. Melambungnya harga sembako dan kebutuhan hidup lainnya memang menjadi pemicu terjadinya penjarahan di berbagai daerah. Aksi-aksi penjarahan yang disertai berbagai aksi kekerasan ini pun tecatat terjadi di Jakarta, Medan, dan Solo.
Parahnya, bukan sekedar menargetkan pusat pembelanjaan dan toko-toko kebutuhan pokok, melainkan ke arah sentimen rasialis. Khususnya terhadap masyarakat Tionghoa, yang kerap menjadi sasaran amuk massa. Inilah titik balik terjadinya eksodus besar-besaran masyarakat Tionghoa dari Indonesia. Demikianlah sejarah Indonesia mencatatnya.
Bukan hanya kekerasan fisik, kekerasan verbal yang menimbulkan trauma digambarkan sangat mengerikan. Pemerkosaan terjadi dimana-mana, bahkan menjurus kepada aksi pembunuhan. Mereka yang dicurigai sebagai "antek" asing pun tak luput dari target amuk massa. Begitupula terhadap para jurnalis, yang selalu meliput berbagai peristiwa di lapangan secara langsung.
Nyaris tidak ada perlindungan hukum, karena kala itu penegakkan hukum tengah stag sebagai akibat dari pergeseran kekuasaan. Maka tidak mengherankan jika banyak terjadi pelanggaran HAM antar manusia. Hingga pada bulan-bulan berikutnya, baik dalam peristiwa Semanggi atau kasus penculikan para aktivis.
Namun, apakah makna dari semangat Reformasi kini telah mencapai titik puncaknya? Atau mungkin sudah usai, seiring euforia Reformasi yang bias tujuan. Apalagi jika melihat realitas demokratisasi saat ini, yang dapat dikatakan telah jauh dari cita-cita para pejuang Reformasi dulu.
Sedianya memang, para pentolan aktivis 98, telah banyak yang duduk dalam panggung parlemen atau pemerintahan. Ini kiranya sebagai bentuk koreksi dari apa yang diperjuangkan pada masa lalu. Bahkan dalam konteks pertentangan terhadap KKN, yang kini konon makin merajalela.
Narasi Reformasi bukanlah hal yang dapat memantik semangat berdemokrasi kini. Karena hampir setiap aspek ruang aspirasi bukan lagi bermuara pada kepentingan rakyat. Melainkan hanya fokus kepada kepentingan kelompok atau golongan. Pun dengan para wakil rakyat, yang rata-rata mengalami secara langsung peristiwa Reformasi kala itu seperti apa.
Ada hal yang patut diluruskan dalam konsep berbangsa dan bernegara kini. Baik dalam aspek sosial, ekonomi, politik, ataupun budaya yang modernis. Mengembalikan cita-cita luhur Reformasi dalam segala bidang, bukan justru mendukung sistem oligarki yang marak berkembang. Ini sekedar koreksi, dari apa yang menjadi harapan anak bangsa pada masa lalu.
Sedianya, Reformasi tidaklah hanya dapat dikenang melalui kisah nostalgia pergantian kekuasaan semata. Melainkan tujuan dari rangkaian peristiwa yang menjadi cita-cita perbaikan bangsa di kemudian hari. Hal inilah yang sudah seharusnya menjadi tugas bersama, khususnya dari para pelaku Reformasi, untuk turut serta mengembalikan arah dan semangat juang yang mulai terkubur seiring perkembangan waktu.
Salam Reformasi, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H