Pemilu yang kiranya dilaksanakan pada tahun 2024 mendatang seolah memberi pengalaman baru bagi para pemilih pemula. Selain dari antusiasme mengikuti pesta demokrasi, menentukan pilihan dengan harapan yang tepat dapat menjadi pandangan bagi para pemilih kedepan. Hal ini tentu saja sebagai angin positif dari semangat berdemokrasi, yang beberapa waktu lalu sempat tercederai.
Tercederai karena ada upaya penundaan penyelenggaraan pemilu dari berbagai elemen yang notabene adalah pejabat pemerintah. Termasuk Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang mengabulkan tuntutan Partai Prima untuk menunda pemilu. Suatu peristiwa yang membuat iklim demokrasi seketika memanas, dengan beragam isu yang menyertainya.
Khususnya bagi generasi muda yang memiliki hak pilih di pemilu 2024 mendatang. Semangat ikut serta dalam panggung demokrasi sudah seharusnya diapresiasi oleh berbagai pihak. Terlebih dari partai politik yang sedianya membutuhkan suara dari para pemilih. Pun dengan partai politik yang kerap mengusung narasi semangat muda, atau melalui organisasi underbow masing-masing partai.
Jika tidak ada harapan bagi kaum muda, maka jangan harap akan mendapatkan dukungan dari mereka. Walaupun banyak diantaranya tergabung seniman dan artis muda yang tengah naik daun. Hal itu sepertinya tidak mempengaruhi elektabilitas partai dalam mendulang suara. Mungkin jika artis Korea ikut log in barulah ekspektasi sebagian anak muda dapat terwadahi. Khususnya kaum hawa.
Kembali kepada topik partai anak muda. Kita tidak menjustifikasi partai anak muda seperti yang ada saat ini. Karena tidak menutup kemungkinan, bahwa organisasi yang bergerak di bawah partai dapat mengkonsolidasikan dirinya untuk memetakan harapan kaum muda. Semua dapat dikatakan berpotensi. Tinggal bagimana kebijakan yang dijadikan jargon dan janji kampanye dapat disosialisasikan bagi kepentingan anak-anak muda.
Angin segar harapan anak bangsa dapat termanifestasikan dalam agenda gerak nyata. Semangat keberpihakan yang memfasilitasi masa depan dengan berbagai harapan populis. Tidak sekedar berorientasi membangun bangsa, tanpa menyentuh sumber daya manusianya, yakni para pemuda. Bukan justru sibuk bermanuver demi kepentingan politiknya sendiri.
Maka wajar, jika partai yang mengusung semangat muda kini justru tidak diperhitungkan oleh kalangan politikus. Sepertinya pemahaman terhadap sistem keterwakilan kini tengah mengalami degradasi persepsi.
Jika terus tidak dapat membenahi diri, maka wajar jika kini hanya dianggap sebagai pelengkap. Karena tidak dapat meraih dukungan penuh dalam peta suara. Khususnya bagi para pemilih pemula. Walau sebagian kalangan berpendapat bahwa proyeksi politik anak muda kedepan hanya sebatas pemberi suara, dari konstelasi politik antar partai besar. Hal ini kiranya dapat mencederai masa depan demokrasi yang seharusnya bersifat edukatif.
Apakah hal ini akan terus berlangsung, hingga gelaran pemilu dilaksanakan? Dengan tetap memposisikan partai yang seharusnya dapat mengangkat semangat anak muda dalam posisi status quonya. Bukannya akan mendapat simpati, yang ada malah muncul sikap antipati terhadap gelaran pemilu nanti. Sikap apolitik yang sekiranya dapat mengurangi semangat berdemokrasi.
Ada banyak harapan yang dapat tertuang dari kalangan anak muda. Jaminan terhadap masa depannya yang secara fakual memberi dampak positif juga bagi masa depan bangsa. Inilah yang patut dipikirkan bersama, bagaimana memberi ruang terbuka bagi keterlibatan generasi muda dengan porsi yang berimbang. Memberi edukasi antara hak dan kewajiban bagi setiap warga Negara yang sesuai dan dijamin oleh UUD 45.
Semoga partai yang mengusung semangat bagi generasi muda tidak hanya berperan sebagai pengekor budaya politik lama. Dengan orientasi pragmatis, dan hanya dilibatkan sebagai pemberi suara dalam Pemilu kelak. Semoga bermanfaat, dan terima kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H