Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Prahara Usai Keputusan Linggarjati Disepakati

16 November 2022   14:26 Diperbarui: 16 November 2022   14:34 1708
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan Pemerintah Republik menyepakati dilaksanakannya perjanjian Linggarjati memang semata-mata untuk mengurangi dampak perang pasca kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Tetapi hal itu tidak berdampak baik dimata para pejuang yang angkat senjata, walau secara politik dianggap sebagai langkah yang positif di mata dunia internasional.

Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1946 oleh Pemerintah Indonesia, faktanya menimbulkan gejolak antar kesatuan militer dan laskar pejuang Republik. Mereka kerap mengencam aksi diplomatis yang justru menimbulkan kerugian di pihak Republik. Alih-alih daerah kekuasaan Republik justru semakin kecil sebagai dampak dari perjanjian yang disepakati.

Sekiranya ada tiga point penting dalam perjanjian Linggarjati:

1. Belanda hanya mengakui secara de facto wilayah Indonesia, seperti Jawa, Sumatera, dan Madura.

2. Pihak Indonesia dan Belanda sepakat membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).

3. Dalam RIS, Indonesia harus tergabung dibawah persemakmuran Indonesia-Belanda, dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Jika melihat keputusan Linggarjati, maka seluruh kesatuan tempur yang berada di luar area yang disepakati tentu harus takluk kepada Belanda. Bukan sekedar menyerahkan senjata, melainkan membubarkan diri dalam mode pengawasan dari militer Belanda. Nah, sudah tentu hal itu menimbulkan polemik yang membuat suasana militer menjadi kacau.

Sejarah Indonesia mencatatnya sebagai asal muasal terjadinya berbagai gejolak di berbagai daerah.

Partai Masyumi, Partai Rakyat Indonesia, PNI, hingga Partai Rakyat Jelata pun menolak keras hasil keputusan yang dianggap sepihak tersebut. Satu sisi, partai-partai yang ada kala itu memang mempunyai laskar-laskar bersenjata yang tengah baku tembak dengan Belanda di setiap daerah yang penuh dengan konflik bersenjata.

Berikut dengan Markas Besar Tentara, yang mengungkapkan kurangnya rasa keberpihakan Pemerintah terhadap para pejuang (TKR) yang bertempur di garis depan. Apalagi, disebut-sebut Indonesia harus mengakui Ratu Belanda sebagai pempimpinnya. Suatu point yang dirasa sangat menyinggung perjuangan para pejuang Republik.

Satu peristiwa yang kelak dapat membuka perhatian kita adalah kekecewaan rakyat Bali atas keputusan ini. Padahal sejak kedatangan Belanda ke Bali pada bulan Maret 1946, satu hal yang ditunggu-tunggu adalah kemerdekaan Indonesia pun dapat dirasakan oleh rakyat Bali. Tetapi, atas perjanjian ini, harapan rakyat Bali seketika sirna.

Lantaran Bali bukan dianggap sebagai wilayah Indonesia, tak ayal peristiwa Puputan Margarana pun berkobar di Bali. Pertempuran hebat yang mengharukan tentu akan dapat diulas lebih luas dalam topik Pertempuran Puputan Margarana. Walau demikian, dapat kita ketahui, bahwa dampak yang dihasilkan dari peristiwa Linggarjati adalah kekecewaan dari para pejuang Republik.

Jadi, sehari usai ditekkennya Linggarjati oleh Pemerintah, gejolak sosial di luar Jawa, Sumatera, dan Madura semakin menjadi, akibat terputusnya komunikasi instruksional dengan Pemerintah Pusat. Baik dalam status politis atau militer, yang membuat pemerintahan daerah kerap memutuskan persoalannya masing-masing.

Seperti sikap yang dilakukan oleh Ibnu Hajar di Kalimantan Selatan dalam menanggapi keputusan Linggarjati. Mereka memutuskan membentuk komando "batalyon rahasia", guna mempertahankan eksistensi para pejuang disana. Hingga membuat Letkol Hassan Basry mendirikan Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV Kalimantan.

Hal inilah yang kelak menimbulkan polemik pada masa "diplomasi sambil bertempur", seperti ungkap A.H. Nasution. Jadi, apa yang dilakukan oleh Robert Wolter Monginsidi dengan Laskar Pemberontak Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS) pada bulan Desember 1946 juga dapat dikaitkan sebagai dampak dari Linggarjati.

Artinya, para pejuang tetap melancarkan perlawanannya, khususnya di daerah-daerah diluar kesepakatan Linggarjati. Mereka tetap angkat senjata, walau penuh dengan rasa kecewa. Tetapi tidak urung dalam mengakui kedaulatan Indonesia, dengan tetap mengibarkan Merah Putih sebagai panji perjuangan mereka.

Sekiranya ini yang dapat disajikan, dalam menarik benang merah dari peristiwa yang terjadi seputar masa diplomasi sambil bertempur. Ada reaksi dari aksi, dan tentu ada dampak dari setiap tindakan. Maka, kobar perlawanan terhadap upaya-upaya kolonialisasi Belanda pasca Proklamasi tentu akan mendapatkan perlawanan dari para pejuang Republik Indonesia.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun