Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kisah Lucu dan Haru dalam Perang Surabaya 1945

11 November 2022   05:30 Diperbarui: 11 November 2022   16:33 2619
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu Sura dan Buaya, di Wonokromo (Sumber: dokpri)

Meriam di area pertahanan pantai utara menyalak dengan keras menyasar target sekumpulan kapal-kapal Sekutu di Kedung Cowek. Tetapi lain, tembakannya justru meleset dan mengarah hingga ke wilayah Sidoarjo. Sekelompok pejuang di Sidoarjo pun pontang-panting menyelamatkan diri, lantaran menganggapnya sebagai tembakan artileri musuh.

Di sektor kota, beberapa pejuang tengah sibuk bergelut dengan senapan arisaka yang gak mau menyalak. Dibawah desingan peluru lawan, mereka justru sibuk mencari peluru yang berhamburan lantaran tidak cocok dengan senjatanya. Hal itu sangatlah lumrah terjadi, karena para pejuang masih minim pemahaman terkait penggunaan senjata.

"Main asal ambil peluru saja mereka...", ungkap seorang TKR kepada para pasukan Tentara Pelajar di Don Bosco. "Lek sing gendul-gendul iku nggo Teki rek!", teriak seorang pejuang. Tekidanto, senjata pelontar granat buatan Jepang, yang larasnya kerap dibawa oleh pejuang untuk memukul lawan bila berhadapan satu lawan satu.

Bahkan dalam satu pertempuran di Al-Irsyad, pasukan PRI bersama sekelompok pemuda tanggung melempari pasukan Sekutu dengan batu. Sisanya diburu sambil mengacung-acungkan senjata tajam dan bambu runcing. Walaupun pada akhirnya perlawanan mereka dapat dipatahkan dengan mudah. "Sing penting tekad nomor siji rek! Lek mati urusan keri".

Kisah lainnya adalah pasukan mortir dari laskar BPRI di Jembatan Merah yang bingung lantaran kotak peluru mortir ternyata tidak cocok diameternya. Mereka harus bolak balik ke beberapa pos pertahanan, hanya untuk sekedar mencari peluru mortir yang sesuai. Untungnya, tidak ada sekat diantara para pejuang, walau berbeda latar belakang ataupun ideologinya.

Senapan anti serangan udara yang dipersiapkan para pejuang pun berhasil menjatuhkan sekurangnya 6 pesawat Sekutu. Konon diantaranya adalah seorang komandan tentara Inggris, bernama Robert Guy Loder Symonds, dari detasemen artileri. Pesawat tipe Mosquito yang ditumpanginya habis terbakar dan meledak usai ditembaki oleh para pejuang.

Semua terlihat bahu membahu guna melawan Sekutu dari berbagai sektor di Surabaya. Hingga memasuki tanggal 11 November 1945, pertempuran sengit yang kembali terjadi lebih kompleks di sekitar Jembatan Merah dan Kantor Pos. Bombardemen di sekitar area tersebut memakan banyak korban jiwa dari para pejuang dan rakyat.

Gempuran tank-tank tipe Stuart tak ada habisnya menggilas para pejuang yang kalah senjata. Mereka memilih mati daripada dijajah kembali oleh negara asing. Apalagi setelah para pejuang mengetahui kehadiran tentara NICA-Belanda, yang tak segan menyerang para penduduk sipil yang tersisa.

Para pengungsi yang undur diri ke selatan pun tak ayal terkena dampak perang. Mereka diburu oleh pesawat-pesawat pembom Sekutu, hingga membuat barisan pejuang dan PMI di sekitar stasiun Semut berantakan. Para pasukan perempuan yang tergabung dalam berbagai laskar pun langsung berhamburan menolong para korban yang terluka, khususnya anak-anak dan lansia.

Naluri seorang perempuan pejuang memang lebih memilih membantu para pengungsi daripada angkat senjata. Walau faktanya, penembakan terhadap mereka tetap saja terjadi, karena atribut yang dipakai identik dengan pasukan pejuang Republik.

Seorang anak menangis keras berlindung dengan tangan diatas kepalanya,

Didapati seorang perempuan berlari ditengah terjangan timah panas yang mendera dari udara,

Sejengkal belum sampai tangan diraih,

Sepuluh luka bekas mitraliur justru beralih,

Tubuhnya terhempas jatuh dihadapan sang anak,

Diraih tangannya sambil merintih menahan sesak,

Yang kini hanya tinggalkan sebuah kisah,

Dari seorang ibu dan anak t'lah terpisah.

Gerakan serangan serempak dari Sekutu mulai melebar hingga ke setiap front pertempuran kota. Surabaya telah luluh lantak, tetapi aksi-aksi para penembak runduk pejuang kerap merepotkan Sekutu. Maka praktis tidak ada kisah kemenangan lagi, sejak puncak baku tembak yang terjadi pada tanggal 10 November 1945.

Kelak dalam pertempuran di Wonokromo, akan terjadi insiden jibakutai terbesar dalam panggung sejarah perang Surabaya. Hanya demi melumpuhkan satu tank Sherman, puluhan pejuang rela mengorbankan dirinya. Secara praktis, jika Wonokromo jatuh, tentu sudah tidak ada lagi ruang untuk mempertahankan Surabaya. Sisanya tinggal area Gunungsari, sebagai satu-satunya basis dari para pejuang.

Karena secara bertahap, selama beberapa waktu, area kota telah ditinggalkan oleh para pejuang sedikit demi sedikit. Hingga akhir bulan November 1945, hampir semua sektor penting sudah berhasil dikuasai oleh Sekutu. Mundur bukan berarti kalah, mundur berarti terus melancarkan perlawanan dengan siasat perang semesta agar tidak binasa secara sia-sia.

Sekiranya ini yang dapat dikisahkan untuk dapat mengenang para pahlawan bangsa dalam panggung sejarah Indonesia. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun