Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

BPRI Laskar Bersenjata Bung Tomo dalam Perang Surabaya

9 November 2022   05:30 Diperbarui: 12 November 2022   21:17 3938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bung Tomo dalam sebuah literasi (Sumber: dokpri)

Siapa yang tidak kenal dengan nama beliau? Sosok paling fenomenal dalam pertempuran Surabaya di tahun 1945. Terkenal karena kepiawaiannya berorasi dan berpidato untuk membangkitkan semangat juang dalam kancah perang yang kelak dikenal sebagai hari Pahlawan. Bung Tomo, sekiranya adalah seorang pemimpin laskar bersenjata paling ikonik setelah Jenderal Soedirman.

Laskar bersenjata yang secara masif terbentuk dalam berbagai front pertempuran selama masa pertempuran mempertahankan Kemerdekaan tersebut adalah BPRI. Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI) ini didirikan oleh Sutomo atau Bung Tomo pada 12 Oktober 1945 di Surabaya.

Sebagai pejuang yang memiliki latar belakang sebagai jurnalis di beberapa media massa kala itu, Bung Tomo tentu sangat mengerti strategi propaganda di masa perang. Aksi-aksi perebutan senjata Jepang yang terjadi selama bulan September hingga Oktober 1945 di Surabaya menjadi moment penting konsolidasi kekuatan bersenjata rakyat.

Sedianya, setelah BPRI didirikan, Bung Tomo pun langsung membentuk kelompok pejuang untuk mendirikan Radio Pemberontakan. Kelak, melalui Radio Pemberontakan inilah, semangat berjuang dapat digelorakan di Surabaya hingga daerah sekitarnya. Bahkan dalam beberapa siarannya, terdengar hingga Jogjakarta.

BPRI sendiri adalah sebuah kesatuan bersenjata yang dibentuk dari kalangan rakyat biasa. Walau rata-rata tidak pernah memiliki pengalaman militer, mentalitas dan semangat tempur mereka sebanding dengan pasukan reguler Pemerintah. Khususnya pada aksi pertempuran yang terjadi selama akhir bulan Oktober 1945.

Selain memiliki kemampuan dalam mengkoordinir kesatuannya, persenjataan yang dimiliki pun terbilang sudah modern. Sama halnya dengan laskar Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang memiliki tank ringan peninggalan Jepang. BPRI justru memiliki kelebihan mobil komando Radio Pemberontakan sebagai kekuatan propaganda bagi para pejuang.

Mengetahui bahwa pasukan Sekutu akan menuntut balas terhadap peristiwa yang menewaskan Jenderal AWS. Mallaby, BPRI bersama Radio Pemberontakan pun tidak tinggal diam. Sambil mengkonsolidasikan kekuatannya dari setiap sektor di Surabaya, Bung Tomo juga melancarkan agitasinya untuk rakyat.

Sejak berdirinya, Bung Tomo setiap pukul 6 sore selalu melakukan siaran yang isinya membakar semangat perjuangan rakyat agar dapat terus menyala. Bersama Muriel Stuart Walker atau K'tut Tantri, seorang jurnalis berkebangsaan Amerika, Bung Tomo kerap melakukan pidato berbahasa Inggris. Fyi, K'tut Tantri ini adalah seorang asing yang memberi dukungannya kepada Indonesia.

Ultimatum Sekutu yang menghendaki penyerahan senjata oleh rakyat, ditentang habis-habisan oleh para pejuang. Tertanggal 9 November 1945 melalui Radio Pemberontakan, Bung Tomo berseru;

"Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih. merah dan putih, maka selama itu, tidak akan kita mau menyerah kepada siapa pun juga... Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar!".

BPRI yang menjadi ujung tombak Bung Tomo pun mendapatkan dukungannya dari luar Surabaya. Baik dari Sidoarjo dan Mojokerto, cabang-cabang BPRI langsung terkonsentrasi di Surabaya sejak akhir Oktober 1945. Mereka mendirikan pos-pos pertahanan kota bersama pasukan TKR dan BKR, berikut dengan laskar-laskar perjuangan lainnya.

Kelak pertempuran besar yang pecah di seluruh kota Surabaya menjadikan BPRI sebagai laskar tempur terkuat yang dihadapi Sekutu setelah PRI pimpinan Soemarsono. "Mereka liar, tetapi mereka memegang teguh semangat jihad, dan mereka punya komitmen untuk menjaga kemerdekaan".

K'tut Tantri pun menjelaskan dalam buku "Revolusi di Nusa Damai", bahwa Bung Tomo adalah tokoh yang paling dicari oleh intelijen Sekutu selama perang berlangsung. Hingga membuat dirinya mengungsi ke Malang, pasca bombardemen Sekutu terhadap Surabaya. Artinya bahwa, mobilisasi laskar BPRI sudah mampu dikendalikan oleh Bung Tomo melalui Radio Pemberontakan.

Seperti kisah Asmu dan Abdullah dari BPRI, yang mampu berkoordinasi dengan kesatuan lainnya. Bahkan dengan Soengkono yang kala itu menjabat sebagai pendiri BKR dan pemimpin TKR di Surabaya. Bahkan kemampuannya dalam mengagitasi diakui secara langsung oleh Gubernur Soerjo. Tetapi semua komando tetap berada di tangan Soengkono selalu pejabat militer Republik.

Dari pasar Babakan, Wonokromo, hingga Viaduct disepakati sebagai garis depan yang harus dipertahankan. Seperti yang dikemukakan oleh Kasdi dkk, dalam buku "Pertempuran 10 November 1945 Citra Kepahlawanan Bangsa Indonesia di Surabaya".

Sektor Timur, pasukan BPRI dibawah komando Sudono, yang bertugas menjaga daerah Kenjeran, Pegirikan, Rangkah, Sidopoto, hingga Karangmenjangan. Pasukan BPRI Sudono langsung dibawah komando Letkol Kadim Prawirodiharjo dari TKR.

Sektor Tengah, pasukan BPRI dibawah komando Kertarto dan Mahardi. Berikut pasukan TKR dari Mojokerto dan Jombang, yang bertugas menjaga Jembatan Merah, Pasar Turi, Kalimas, Genteng, Stasiun Semut, Darmo, hingga Wonokromo. Seperti yang dimaksud sebagai area garis depan, beserta kurang lebih sekitar 20 laskar perjuangan lainnya.

Sektor Barat, pasukan BPRI langsung dibawah komando Kunkiyat. Berikut pasukan TKR yang datang dari Lamongan dan Gresik, yang bertugas menjaga daerah Kandangsapi, Kemayoran, Gunungsari, Kupang, hingga jalan penghubung Gresik-Lamongan.

Sekiranya demikian abstraksi gelar kekuatan yang dapat dituliskan dalam kronik Pertempuran Surabaya 1945. Tentu tidak hanya para pejuang dari kesatuan reguler TKR ataupun BKR. Laskar-laskar perjuangan, hingga rakyat biasa baik pemuda puteri dan anak-anak, terlibat dalam peristiwa yang diketahui sebagai pertempuran terbesar usai Perang Dunia II.

Surabaya adalah saksi betapa hebatnya perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dalam panggung sejarah Indonesia. Tentunya agar kita dapat senantiasa mengingat semangat juang dari para pahlawan bangsa. Semoga bermanfaat.

Selamat Hari Pahlawan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun