Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengenang Perjuangan Kaum Santri Melalui Resolusi Jihad

22 Oktober 2022   06:00 Diperbarui: 22 Oktober 2022   06:08 1584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Logo Hari Santri 2022 (Sumber: nu.or.id)

Sejarah Hari Santri tidak dapat dipisahkan dengan peristiwa yang terjadi pada tanggal 22 Oktober 1945. Kala itu, umat Islam banyak yang terlibat dalam berbagai pertempuran di beberapa daerah demi mempertahankan Kemerdekaan Indonesia. Nahdlatul Ulama (NU) pun merespon hal itu dengan wujud dukungan penuh terhadap perjuangan dari para pejuang Republik.

Baik melalui jalan politik, ataupun dengan jalan mengangkat senjata, melalui laskar-laskar pejuang yang berjuang dibawah panji Islam, seperti Hizbullah. Memasuki bulan Oktober 1945, suasana Indonesia pun dianggap semakin genting. Bukan hanya perlawanan sporadis, melainkan perlawanan semesta melawan para tentara Sekutu yang diboncengi oleh NICA-Belanda.

Dibawah komando Rais Akbar K.H. Hasyim Asy'ari, cabang-cabang NU yang tersebar di Jawa dan Madura segera dikumpulkan untuk merespon dan memberi dukungan terhadap para pejuang Nahdliyin. Walau faktanya dukungan perjuangan ditujukan untuk seluruh pejuang Republik yang terlibat dalam berbagai pertempuran.

Melalui pondok-pondok pesantren, semangat juang yang dikobarkan oleh para Kyai kepada santri-santrinya tentu akan semakin kuat ketika disatukan dalam sebuah resolusi. Nah, resolusi inilah yang kemudian dirumuskan oleh para ulama-ulama NU pada tanggal 21 Oktober 1945 di Bubutan, Surabaya.

Dalam suatu rapatnya, K.H. Abdul Wahab Hasbullah yang kala itu menjabat sebagai Ketua PBNU pun menyerukan agar ada sebuah resolusi jihad bagi para pejuang, sesuai arahan dari K.H. Hasyim Asy'ari. Bukan kaleng-kaleng, kala itu K.H. Hasyim Asy'ari yang sudah sepuh pun hendak belajar menggunakan senjata api hanya untuk melawan NICA-Belanda.

Fyi, K.H. Abdul Wahab Hasbullah ini dikenal sebagai pimpinan dalam organisasi Barisan Kyai, yang sejak zaman Jepang sangat aktif memimpin perlawanan rakyat. Semua peserta rapat pun mengetahui kiprahnya selama masa bersiap, dengan konsep perjuangan jihad fii sabilillah bagi para pejuang muslim.

Sebuah semangat yang ditunjukkan kepada para anggota rapat kala itu. Tidak lain demi Resolusi Jihad agar dapat menjadi keputusan bersama dalam momentum menentukan perjuangan ummat. Maka kemudian dirapatkanlah isi dari Resolusi Jihad yang dijadikan agenda utama rapat, dengan hasil sebagai berikut:

"Berperang menolak dan melawan pendjajah itoe fardloe 'ain (haroes dikerdjakan tiap-tiap orang Islam, laki-laki, perempoean, anak-anak, bersendjata ataoe tidak) bagi jang berada dalam djarak lingkaran 94 km dari tempat masoek dan kedoedoekan moesoeh. Bagi orang-orang jang berada di loear djarak lingkaran tadi, kewajiban itoe djadi fardloe kifajah (jang tjoekoep, kaloe dikerdjakan sebagian sadja)..."

Keputusan tersebut kemudian ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 1945, sebagai Resolusi Jihad bagi umat Islam. Serta merta keputusan tersebut pun disyi'arkan di seluruh masjid hingga musholla yang berada di Surabaya dan sekitarnya. Namun, Resolusi Jihad bergema hingga ke seluruh pelosok Jawa hingga Sumatera.

Berbagai front pertempuran yang melibatkan laskar pejuang Hizbullah, Resolusi Jihad pun menggema dimana-mana. Khususnya terhadap para pejuang dalam front Surabaya kelak. Walau riak perlawanan sudah mulai sejak aksi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato pada bulan September 1945.

Perang yang berlangsung selama masa bersiap pun semakin berkobar dengan dahsyatnya. Seolah, usai Resolusi Jihad ditetapkan, gerakan kaum santri dalam menyambut pasukan-pasukan agresor semakin gencar terjadi. Baik di kota-kota besar, ataupun di desa-desa, dengan melakukan aksi penghadangan terhadap patroli ataupun konvoi musuh, khususnya di Jawa Timur.

Maka, dengan ini secara tegas posisi kaum santri pada masa bersiap tidak dapat dikatakan sejalan dengan upaya diplomasi yang tengah diupayakan Pemerintah. Keputusan yang melibatkan segenap pejuang dari para ulama ini sejatinya adalah bentuk reaksi dari apa yang terjadi di lapangan.

Bukan dengan tujuan menentang, tetapi lebih dianggap sebagai respon perlawanan. Mobilisasi pun secara cepat terjadi hingga ke pelosok desa. Seolah "rebutan" menyambut mati syahid menentang penjajahan telah dimulai. Tidak ada rasa gentar dalam proses perjuangan, walau hanya berbekal senjata bambu runcing dan golok.

Dalam satu peristiwa, Bung Tomo hingga Panglima Besar Jenderal Soedirman yang pernah bertemu dengan K.H. Hasyim Asy'ari, selalu meminta wejangan untuk memantapkan semangat juang. Baik melalui pendekatan spiritual atapun strategi perjuangan. Dimana Resolusi Jihad pada akhirnya adalah jawaban final dari konsep perjuangan semesta.

Momentum inilah yang kemudian hari dikenal dengan Hari Kebangkitan Kaum Santri, atau kini dikenal dengan Hari Santri Nasional. Semangat perjuangan demi menjaga kedaulatan bangsa adalah tujuan utama sebagai umat Islam. Karena sedianya, Resolusi Jihad dapat terus dijadikan inspirasi juang hingga saat ini, walau dengan konsep yang berbeda.

Selamat Hari Santri Nasional 2022. Berdaya Menjaga Martabat Kemanusiaan.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun