Apa yang ada dipikiran para pembaca sekalian, apabila kisah ini merupakan sebuah peristiwa yang menjadi latar belakang aksi perebutan senjata? Tentu saja hanya berbekal dengan senjata seadanya, para pejuang di Jogjakarta menyerbu markas Jepang di Kotabaru untuk mendapatkan persenjataan. Istilah kata ni ya, hanya dengan bermodal golok mereka menantang senjata api Jepang.
Berangkat dari upaya damai para pejuang dengan pasukan Jepang di Osha Butai yang ternyata tidak membuahkan hasil positif. Jepang tidak mau dilucuti senjatanya, dan masih kekeuh bercokol selama masa peralihan tersebut. Gak mau peluang mendapatkan senjata terlewati, maka seluruh elemen perjuangan di Kotabaru segera berkumpul untuk mengatur siasat.
Sejak tanggal 6 Oktober 1945, sebenarnya berbagai gedung dan lokasi penting telah dikuasai oleh para pejuang di Jogjakarta. Jepang hanya bertahan di berbagai tangsi militernya, seraya mengurus rencana peralihan kekuasaan dengan Sekutu. Faktor senjata adalah modal utama dalam perjuangan, dan dimana-mana tengah menjadi target buruan dari para pejuang kala itu.
Barisan Keamanan Rakyat bersama Polisi Istimewa yang menjadi ujung tombak peristiwa tersebut, telah berupaya berunding dengan pihak Jepang. R.P. Soedarsono bersama beberapa rekan seperjuangan yang telah berhasil merebut kekuasaan di Gedung Negara, segera mengalihkan perhatiannya terhadap gudang senjata Jepang di Kotabaru. Walau perang mungkin tidak dapat terhindarkan.
Bersama ratusan rakyat yang mengepung markas Osha Butai, ia meminta kepada Mayor Otsuka untuk memberikan senjatanya. Pasukan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru dibentuk dua hari sebelumnya pun turut andil dalam peristiwa ini. Mereka bersiap apabila terjadi kontak senjata di sekitar markas. Mereka menyabotase alat komunikasi Jepang dengan memutus telepon.
Nah, ketika mode perundingan tengah berlangsung, tiba-tiba pada tanggal 7 Oktober 1945, terdengar ledakan granat dari sekitar markas Osha Butai. Pertanda perundingan gagal, disertai dengan serbuan serentak rakyat bersama para pejuang ke dalam markas. Tidak ada lagi strategi serangan, yang ada hanya serbuan serempak, walau hanya bersenjata golok dan bambu runcing.
Merasa terdesak, dengan tiba-tiba Jepang membuka komunikasi dengan pihak pejuang. Alih-alih mengijinkan masuk melalui pintu utama markas, ternyata dari balik pintu sudah bersiap senapan mesin pertanda jebakan telah berhasil termakan. Pasukan senapan mesin Jepang berhasil menumbangkan puluhan pejuang di barisan depan. Mereka gugur akibat tembakan gencar dari balik pintu.
Baku tembak kemudian semakin menjadi-jadi dan tidak terelakkan hingga ke dalam setiap sudut ruangan di dalam markas. Banyak diantara pasukan Jepang yang seketika menyerah, lantaran takut dibalas dan ditangkap oleh para pejuang. Walau rekan pejuang banyak yang telah berkalang tanah, fokus merebut senjata adalah target utama yang tidak dapat digugat.
Terhitung sekitar 21 pejuang gugur bersama 32 lainnya terluka dari pihak Republik. Sedangkan dari pihak Jepang 9 prajuritnya terbunuh bersama 20 lainnya terluka. Sisanya, sekitar 360 prajurit tertangkap karena menyerah. Mereka tidak kuasa menahan amarah dan gempuran ribuan pejuang yang semakin memadati markas Osha Butai.