Mungkin kini telah banyak asumsi dan teori yang beredar mengenai peristiwa kelam di tanggal 30 September 1965 silam. Bahkan jika kita berbicara mengenai kisah ini, seolah dianggap tengah membangkitkan "hantu" di masa lalu, yang konon selalu terkait dalam tujuan politis bangsa ini sepanjang masa.
Secara pribadi, dalam tahap ini tulisan dibuat semata-mata hanya untuk tujuan edukasi. Yakni berbagai peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau. Seperti tulisan saya lainnya, yang berkenaan dengan peristiwa dan kisah sejarah yang disajikan per waktu. Dimana peristiwa 30 September 1965 tentu saja tidak dapat dilepaskan dari panggung sejarah Indonesia.
Dalam kesempatan ini, ada kiranya penulis dapat mengabstraksikan sejenak perihal realita sosial dan politik yang terjadi pada masa pra 30 September 1965. Kala itu (pasca Pemilu 1955), politik Indonesia telah tersekat menjadi 3 kubu kekuatan besar yang saling mempengaruhi. Yakni, golongan Nasionalis, Agama, dan Komunis.
Ketiga unsur tersebut terwakili dengan partai PNI, NU, dan PKI, pasca Masyumi dibubarkan oleh Pemerintah. Maka praktis, tiga kekuatan berbasis massa besar tersebut kerap menimbulkan gesekan pada masyarakat. Hingga mempengaruhi kondisi sosial di era revolusi. Terlebih ketika kebijakan Pemerintah kala itu tengah membuat Negara menghadapi krisis ekonomi dan konflik sosial lainnya.
Peristiwa ini berawal dari aksi beberapa kelompok kesatuan Cakrabirawa (Pengawal Presiden) yang melakukan penculikan dan pembunuhan terhadap 6 Jenderal TNI di Jakarta pada tanggal 30 September 1965. Para petinggi TNI tersebut adalah Jenderal Ahmad Yani, Mayjen Soeprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigjen D.I. Panjaitan, dan Brigjen Sutoyo Siswomiharjo.
Satu korban lainnya adalah Lettu Piere Tendean, yang mengaku sebagai Jenderal A.H. Nasution, kala pasukan Cakrabirawa melakukan percobaan penculikan terhadapnya. Walau putrinya yang bernama Ade Irma Suryani, meninggal dalam insiden di malam itu. Bersama seorang polisi yang gugur, bernama Aipda Karel Satsuit Tubun, ia mencoba memberikan perlawanan kepada para penculik.
Dua korban lainnya adalah Kolonel Katamso dan Letkol Sugiyono di Jogjakarta pada tanggal 2 Oktober 1965. Lantaran tidak mau memberi dukungan kepada aksi 30 September 1965 di Jakarta, sepasukan tentara dari Korem 71/Pamungkas menculik dan langsung membunuh kedua perwiranya sendiri di daerah Kentungan.
Jenderal A.H. Nasution yang selamat, akhirnya menjadi saksi penting dari kejadian tragis di malam jahanam, yang kelak merubah situasi politik di Indonesia sesudahnya. Berikut dengan prahara dan konflik sosial yang terjadi sebagai akibat dari aksi yang menjadi reaksi.
Disebut-sebuat aksi dan reaksi yang terjadi adalah akibat dari ulah PKI yang terjadi beberapa waktu sebelumnya.
...