Perpecahan antara Amir Syarifuddin dengan Musso mungkin sudah gak ada obat. Upaya pendirian Pemerintahan Front Nasional telah gagal total, seiring dikepungnya Madiun oleh berbagai unsur bersenjata pro Pemerintah.Â
FDR sebagai sentra kekuatan militer PKI lebih memilih mengikuti Amir Syarifuddin daripada Musso. Mereka seolah tidak sependapat dengan konsep pendirian Negara Soviet Madiun.
Tetapi, jalan pemberontakan yang sudah diambil sebagai keputusan mereka tentu tidak dapat dikembalikan seperti sediakala.Â
Mau tidak mau, pasukan FDR/Pesindo/PKI dan beberapa sisa pasukan dari Brigade 29 memilih untuk membubarkan diri. Sebagian besar ikut arahan Amir Syarifuddin untuk memasuki wilayah kekuasaan Belanda di utara.Â
Kota-kota dan desa bekas aksi kekerasan PKI telah dibebaskan sejak tanggal 26 September 1948. Sedangkan para petinggi PKI telah bergegas meninggalkan Madiun sejak tanggal 28.Â
Memasuki tanggal 29, pasukan Siliwangi mulai bergerak mengejar pasukan besar komunis yang lari ke utara. Tetapi tidak untuk Musso, yang hanya ditemani beberapa pengawal saja ke arah Ponorogo.
Sedangkan Soemarsono yang menjabat sebagai Gubernur Militer Pemerintahan Front Nasional di Madiun, memilih untuk mengikuti instruksi Amir Syarifuddin, menyingkir keluar kota.Â
Dalam rencana pelariannya, ia justru memulai lebih awal sebelum kota Madiun berhasil dilumpuhkan oleh TNI. Hingga ia berhasil lolos dari penangkapan, karena berhasil memasuki wilayah Belanda.
Berbeda nasib dengan ribuan pasukan yang mengikuti Amir Syarifuddin. Medan berat berupa hutan dan rawa menjadi jalan terakhir mereka, karena desa-desa sudah tidak mau menerima pasukan FDR bersama komplotannya.Â
Aksi kekejaman pasukan komunis sudah tersebar luas di setiap desa sekitar Madiun. Maka praktis sudah, tidak ada dukungan moril bagi para pemberontak ini.