Baik di Soco I dan II, Dijenan, Cigrok, Kenongo Mulyo, Pojok, Batokan, Bogem, semua adalah lokasi-lokasi pembantaian yang terjadi pada masa itu.
Begitupula dalam peristiwa di Pabrik Gula Gorang Gareng, Magetan. Sekitar 45 tawanan dari masyarakat, santri, aparat, dan pejabat lokal, dijejalkan dalam satu ruangan kecil di sudut bangunan pabrik. Semuanya lantas ditembaki dari luar ruangan, hingga banyak diantara para tawanan menjadi korban. Kabarnya, genangan darah dari ruangan tersebut tingginya hingga semata kaki.
Berikut dengan para korban lainnya, yang tersebar di berbagai lokasi berbeda. Gerbong maut "kertapati", yang dipergunakan untuk mengankut tawanan, seolah manjadi gerbong maut yang kiranya dianggap sebagai penjemput nyawa. Kekerasan fisik dan aksi-aksi perampokan pun tak luput dari sikap mereka sebagai intimidasi terhadap masyarakat.
Bahkan diantara para lawan politik PKI diperlakukan layaknya "hewan" ketika ditangkap, seperti kisah Gubernur Suryo. Beliau bersama pengawalnya, ditangkap dan dihabisi dengan cara "ditelanjangi" sebelum di eksekusi. Hal ini serupa dengan aksi kekerasan yang dilakukan PKI terhadap polisi militer Republik yang kala itu telah "ditaklukkan" oleh komunis. semua dibantai.
Tak terkecuali penduduk desa dan anak-anak, yang diintimidasi dengan menebar teror psikologis agar tidak berani melawan. "Mereka menenteng (maaf) kepala korban yang dianggap sebagai lawan sambil mengelilingi desa", ungkap seorang sumber yang pernah penulis wawancarai di Madiun beberapa tahun silam.
Aksi-aksi brutal inilah yang kelak menimbulkan reaksi pembalasan pada hari-hari berikutnya. Apalagi Pemerintah telah bersikap tegas untuk memberikan pukulan secara menyeluruh terhadap aksi Pemerintah Front Nasional yang dibentuk Musso dan Amir Syariffudin di Madiun ini.
Apalagi sejak tanggal 18 September, pasukan Siliwangi beserta para laskar pro Pemerintah telah memasuki Madiun dari berbagai penjuru. Tentu saja, sebagai upaya pembebasan Madiun dari teror dan aksi pemberontakan PKI. Dimana pada akhirnya pasukan PKI dapat dicerai-beraikan dengan ending Musso dan Amir Syarifuddin kedapatan berbeda tujuan.
Maka, sekiranya kita sudah sepatutnya dapat terus mengingat peristiwa kelam yang terjadi pada masa lalu. Tentunya agar hal serupa tidak terjadi lagi dikemudian hari, walau dengan cara yang berbeda. Sekiranya penulis pun sampaikan permohonan maaf bila tidak merinci nama seluruh korban kekejaman PKI di tahun 1948.
Semoga kisah ini dapat menjadi pegangan untuk kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H