Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perang Saudara di Surakarta 1948

16 September 2022   05:30 Diperbarui: 16 September 2022   06:24 4877
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sepertinya kisah mengenai peristiwa huru-hara di Surakarta pada tahun 1948 lalu sudah mulai terlupakan kini. Kita seolah tengah sengaja meninggalkan sejarah bangsa kita sendiri. Bahwa pada masa lalu, pernah terjadi perang saudara yang berlandaskan perbedaan prinsip juang dan ideologi. Khususnya sebelum peristiwa pemberontakan PKI di Madiun.

Tentu ada sebab sebelum ada akibat, atau pasti ada pula yang menabur angin ditengah badai. Begitulah kiranya kronologis kisah baku hantam antar sesama pejuang di sana kala itu. Terlebih ketika para pasukan Siliwangi tengah "hijrah" dari Jawa Barat ke Jawa Tengah, karena perjanjian Renville pada Januari 1948.

Jatuhnya pemerintahan Amir Syarifuddin disebut-sebut juga menjadi asal muasal pertikaian yang berakhir pada suasana bersitegang antar sesama laskar dan pasukan perjuangan. Hal itu memuncak, ketika Amir Syarifuddin membentuk fusi milisi bersenjata bernama Front Demokrasi Rakyat (FDR) pada Februari 1948.

Lantaran Amir Syarifuddin kecewa terhadap kejatuhan kabinetnya pasca Renville. Sedangkan Moh. Hatta, yang ditunjuk sebagai penggantinya, mulai menerapkan program Rasionalisasi dalam tubuh kemiliteran Indonesia. Nah, program Rasionalisasi ini juga yang disebut-sebut sebagai faktor lain yang membuat para laskar bersenjata "nekat" melawan Pemerintah.

Moh. Hatta tidak mau, jika sikap "liar" laskar bersenjata dapat menjadi "musuh dalam selimut" bila tidak diakomodir secara sistemik oleh Pemerintah. Maka dari itu, mulailah disebar isu-isu negatif terhadap para pasukan Siliwangi yang datang ke Jawa Tengah oleh para pasukan pendukung Amir Syarifuddin.

Seperti yang diungkapkan oleh David Charles Anderson, "bahwa pasukan Siliwangi adalah antek-antek Belanda yang disebar oleh Pemerintah untuk menaklukkan para pejuang Republik". Hal ini yang menjadi alasan divisi Panembahan Senopati yang bermarkas di Surakarta kerap melakukan konfrontasi bersenjata terhadap unsur-unsur dari Siliwangi.

Apalagi banyak dari simpatisan Amir Syarifuddin yang berada pada pucuk pimpinan divisi Panembahan Senopati. Makin keruh saja tentunya suasana di Surakarta. Pada pertengahan September 1948 mulailah aksi saling culik diantara para pejuang. Baik antar laskar bersenjata ataupun pasukan reguler TNI.

Di lain pihak, laskar bersenjata seperti Barisan Banteng dan Gerakan Revolusi Rakyat (GRR), lebih bersikap mendukung terhadap keputusan Pemerintah. Apalagi, mereka ini adalah para laskar bersenjata yang berhaluan Tan Malakais. Yup, usai Musso datang ke Indonesia, perseteruan ideologis dengan Tan Malaka memang menjadi perseteruan abadi diantara para tokoh kiri tersebut.

Puncaknya adalah ketika Amir Syarifuddin dan Musso colabs kekuatan demi menjalankan aksinya melancarkan pemberontakan. Pada bulan September 1948 memang suasana saling bersitegang kerap menimbulkan aksi saling tembak. Terlebih ketika Dr. Moewardi diketahui telah diculik oleh sekelompok pasukan yang diduga dari kelompok "kiri" pada 13 September 1948.

Setelahnya adalah, para pimpinan divisi Senopati diketahui juga telah diculik oleh sepasukan milisi bersenjata yang melakukan penghadangan di beberapa lokasi. Hingga Kolonel Gatot Soebroto memberi perintah harian tertanggal 15 September 1948, untuk menyelidiki aksi-aksi penculikan yang terjadi di Surakarta.

Saling serang sesama pejuang sudah tidak lagi dapat dielakkan. Bahkan upaya Jenderal Soedirman untuk mengurai konflik juga seolah tidak diindahkan oleh milisi "kiri" tersebut. Dalam siaran radio tertanggal 16 September 1948, Panglima menekankan; "bahwa wajib diketahui bahwa angkatan bersenjata adalah alat Pemerintah, dan bukan alat politik antar kelompok atau golongan", (Antara).

Soe Hok Gie mengungkapkan, desakan demi desakan melalui raid pasukan yang pro Pemerintah beserta para laskar (GRR dan Barisan Banteng) berhasil membuat pasukan Panembahan Senopati dan FDR mulai tercerai berai. Terlebih ketika markas Pesindo diserang dan dihancurkan oleh pasukan pro Pemerintah. Banyak diantaranya memilih untuk mundur dan keluar dari Surakarta.

Puncaknya ada pada tanggal 17 September 1948. Raid terakhir dari divisi Panembahan Senopati berhasil dipatahkan oleh divisi Siliwangi di pusat kota. Nah, dalam peristiwa ini tentu sudah jadi ketentuan, bahwa upaya pendirian Pemerintah Front Nasional gagasan Musso dan Amir Syarifuddin mulai berantakan di Surakarta.

Awalnya memang, huru-hara di Surakarta seolah menjadi ajang uji kekuatan pasukan pemberontak terhadap kekuatan militer dan laskar yang pro Pemerintah. Banyaknya korban yang berjatuhan diantara kedua belah pihak adalah fakta yang tidak dapat kita lupakan. Bahwa perang saudara pernah terjadi di Republik ini.

Aksi-aksi kekejaman antar kelompok yang saling serang juga dapat dikatakan diluar nalar kemanusiaan. Terlebih ketika pasukan "kiri", sudah merasa semakin terdesak. Bahkan rakyat dan pejabat publik yang dianggap pro Pemerintah menjadi korban.

Belum lagi ketika terjadinya pemberontakan Madiun. Jenderal Soedirman bahkan sampai jatuh sakit, ketika terlibat secara langsung upaya penyelesaiannya. Tentu hal ini sebagai pengingat, bahwa upaya mencerai-beraikan persatuan di tubuh angkatan perang pernah terjadi sejak awal Republik ini berdiri. Semua berlatar kepentingan kelompok yang selalu berangkat dari orientasi politis.

Tentu, ihwal secara lengkap mengenai peristiwa huru-hara di Surakarta tidak dapat dikisahkan secara utuh dan menyeluruh. Sebatas pengingat bagi kita. Agar senantiasa mewaspadai unsur-unsur politis yang mencoba mencerai-beraikan tentara Republik. Seperti apa yang telah diperingatkan oleh Jenderal Soedirman. Semoga bermanfaat.

*Mandalawangi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun