Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyergap Belanda di Leuwigoong 1947

3 September 2022   05:30 Diperbarui: 3 September 2022   16:19 2262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tugu peringatan Leuwigoong, Garut (infogarut.id)

Pagi itu, tanggal 3 September 1947, sekelompok pasukan pejuang yang terdiri dari TNI dan para laskar perjuangan rakyat hendak memberikan perlawanan terhadap Belanda. Beberapa hari sebelumnya, para pejuang telah mengetahui bahwa konvoi pasukan Belanda akan datang ke Garut, sebagai bagian dari aksi Agresi Militer Belanda I.

Terhitung sejak awal Agustus 1947, daerah Garut kerap dibombardir Belanda yang telah menduduki Bandung. Hampir setiap desa menjadi target pengeboman, termasuk Leuwigoong, yang terletak diantara Cibatu dengan Garut.

Tentu saja untuk menduduki area vital di Garut dan Cibatu, yang sarat dengan aset perekonomian pemerintah Belanda sejak masa kolonial. Setelah Indonesia merdeka, aset ekonomi seperti perkebunan hingga properti langsung diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Nah, disini, Belanda ingin menguasai kembali ladang-ladang ekonomis yang menguntungkan tersebut.

Tak lama, wilayah Garut dan Cibatu berhasil dikuasai kembali oleh Belanda. Mereka telah menempatkan pasukan-pasukannya pada berbagai titik penting di dua lokasi tersebut. Semacam tangsi pertahanan ataupun barikade jalan. Agar para pejuang tidak dapat menyerang kota secara frontal.

Mengetahui hal itu, Kapten Rakhmat Sulaeman dengan segera mengkonsolidasikan pasukan TNI bersama laskar perjuangan lain, seperti Barisan Banteng Republik Indonesia (BBRI), hingga Hizbullah, untuk mengadakan raid terhadap pasukan musuh. Para pemimpin perjuangan lain beserta para tokoh dan pemuka agama juga turut dalam rencana perlawanan ini.

Maka sejak tanggal 31 Agustus 1947, banyak para laskar bersenjata yang sudah bersiap di Leuwigoong. Hingga 3 hari lamanya, para pentolan pejuang berdiskusi untuk melancarkan strategi penyerbuan. Ditetapkannya Leuwigoong sebagai titik pusat serangan, karena pasukan Belanda kerap melalui desa ini untuk menuju Garut atau Cibatu.

Selain letaknya yang strategis, bila dilakukan pengepungan dari sekitar hutan bambu di sebelah tenggara Leuwigoong, maka akan menguntungkan pihak pejuang. Apalagi, lokasi itu tidak jauh dari markas para pejuang Republik di Gunung Haruman. Terlebih karena jalannya yang berkelok, akan memudahkan serangan dari sekitar bukit.

Dari Barisan Banteng ada Abu Bakar sebagai pimpinannya, sedangkan dari Hizbullah dipimpin oleh Zainal Abidin. Pasukan lainnya ada Ahmad Muhammad yang memimpin laskar bersenjata. Mereka semua bersiap sejak pagi hari di tanggal 3 September 1947.

Ketika hari menjelang siang, iring-iringan konvoi terlihat dari sebelah barat daya Leuwigoong. Beberapa informan pejuang juga memastikan, bahwa konvoi Belanda itu tidak memiliki pengaman lapis baja. Hanya beberapa buah truk pengangkut pasukan dengan persenjataan berat.

Nah, tepat pada pukul 12.00, langsung saja baku tembak terjadi diantara kedua belah pihak. Dua buah truk pengangkut langsung terjerembab ke sisi jalan. Karena fokus tembakan dari para pejuang memang diarahkan kepada pengemudi. Serta merta tembakan balasan langsung bersahutan dari pasukan Belanda. Dengan beberapa serdadu telah tumbang dimakan peluru para pejuang.

Para pasukan Belanda hanya bisa bertahan di sekitar kendaraan angkut mereka. Tidak dapat bergerak, dan terkepung dari seberang jalan. Yap, para pasukan pejuang melebarkan sayapnya ketika berhasil memukul pada raid pembuka. Selama lebih kurang satu jam, baku tembak terus terjadi. Hingga pada suatu waktu, tembakan sedikit mereda...

Suara raungan mesin pesawat P-51 Mustang mulai terdengar dari kejauhan. Yap, para pasukan Belanda ternyata meminta bantuan dari Bandung untuk membalas serangan dari para pejuang. Mereka tidak berani berlama-lama menghadapi pejuang yang semakin membuat posisi mereka terjepit.

Dikarenakan tidak adanya persenjataan berat, para pejuang akhirnya memutuskan untuk undur diri. Strategi pengepungan kemudian berubah menjadi hit and run. Mereka mundur seraya menembaki terus posisi musuh. Tentu tidak lama, ledakan bom dari pesawat menghujani posisi para pejuang.

Dari serangkaian aksi, diantara pejuang ternyata ada yang gugur terkena tembakan dari pesawat, yakni Atam Sondara (22 tahun). Dikabarkan bahwa Atam berupaya menembaki pesawat dengan senapan ringan, yang tentu saja bukan lawan sebanding. Aksi heroik yang membuat pasukan pejuang lainnya dapat mengundurkan diri dari Leuwigoong.

Ketika suasana mulai kondusif, dan pasukan Belanda telah meninggalkan lokasi, pada malam harinya, jenazah Atam baru dapat dikebumikan di kampung Cisereuh. Pejuang muda nan tangguh dan tidak mengenal takut itu telah gugur sebagai kusuma bangsa. Tidak ada kata lain yang sekiranya dapat diutarakan, selain pekik Merdeka!

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun