Satu minggu usai amuk Krakatau mereda di tahun 1883, para penduduk yang selamat mulai bangkit untuk membangun pemukiman kembali. Ketersediaan pangan yang tersisa rata-rata tidak mencukupi untuk sampai akhir tahun. Semua rusak, dan rata-rata ternak yang tersisa pun terkena wabah penyakit.
Di beberapa tempat, seperti Anyer, Serang, dan Cilegon, pun mulai betebaran penyakit-penyakit berbahaya seperti pes. Bencana yang telah melanda masyarakat Banten ternyata tidak membuat Belanda simpati. Alih-alih membantu, tetapi malah menaikkan berbagai macam pajak untuk masyarakat Banten.
Tidak tanggung-tanggung, satu tahun usai bencana, kewajiban membayar pajak dibebankan jauh lebih tinggi dengan beragam syarat. Pangeran Aria Achmad Jayadiningrat hingga Sartono Kartodirjo (dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888) sepakat, bahwa persoalan pajak yang tidak masuk akal adalah latar belakang terjadinya gejolak sosial usai bencana Krakatau.
Parahnya, kewajiban untuk membunuh hewan ternak (kerbau) yang tersisa, diwajibkan oleh Belanda dengan alasan kesehatan. Dilain pihak, Belanda nyaris tidak perduli dengan kondisi sosial yang tampak parah kala itu. Justru mulai membangkitkan sentimen berlatar agama kepada para pemuka agama setempat.
Hancurnya Kesultanan Banten pada 1813, usai dihapuskan oleh pemerintah kolonial, membuat masyarakat membangun kembali kekuatan kelompok-kelompok agama sebagai basis solidaritasnya (dalam buku Banten, Sejarah dan Peradaban X-XVII/Claude Guillot).
Kekuatan solidaritas berideologi agama inilah yang perlahan mulai dikhawatirkan oleh Belanda. Mereka kerap mengirimkan mata-matanya hanya untuk mengawasi sebuah pengajian.
Nah, dilain pihak, masyarakat Banten sudah semakin tertekan, akibat maraknya gagal panen akibat penurunan iklim dunia pasca bencana. Baik dalam sektor pertanian ataupun perkebunan, nyaris tidak ada lagi ketahanan pangan pada masyarakat. Hingga tahun 1884, penerapan wajib pajak dianggap sudah semakin tidak manusiawi.
Seperti pajak perahu, pajak jiwa, pajak pasar, dan pajak tanah pertanian. Baik dalam proses tanam, panen, ataupun tidak ditanami, semua tanah dikenakan wajib pajak yang dirasa tidak rasional.
Maka tidak ada tempat lain untuk berlindung dalam ikatan solidaritas, selain pada perkumpulan-perkumpulan keagamaan tersebut. Minimal untuk membangkitkan moril dalam menghadapi kesengsaraan yang tengah melanda. Dimana tokoh-tokoh agama kala itu dapat memberi sumbangsih lebih baik secara spiritual maupun moril untuk membangkitkan perlawanan.
Terlebih ketika K.H. Tubagus Ismail telah datang dari Mekkah pada 1884. Semangat pergerakan untuk menghimpun kekuatan rakyat semakin masif terjadi di berbagai desa. Maka, perlahan demi perlahan semangat perlawanan dapat bangkit untuk menentang kaum kolonial. Selama tahun 1885 hingga 1886, segala konsolidasi gerakan semakin dipergiat melalui kegiatan-kegiatan agama.