Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pesan Kemerdekaan Dari Sutan Syahrir

14 Agustus 2022   08:00 Diperbarui: 14 Agustus 2022   08:01 1665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri. Sutan Syahrir pada sebuah mimbar.

Berita terdesaknya Jepang pada Perang Asia Timur Raya, ternyata sampai pada telinga seorang pejuang bernama Sutan Syahrir. Yap, pertama kali berita ini tersebar melalui kantor-kantor berita Sekutu, yang kerap memberitakan keadaan Perang Dunia 2 di Eropa dan Asia. Untuk pertama kali, dari para pejuang "bawah tanah", memberi ultimatum kepada para tokoh pergerakan, agar segera bertindak untuk Memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia.

Mereka adalah kelompok anak-anak muda yang kelak dikenal dengan istilah golongan muda. Berkenaan dengan para golongan tua, yang lebih mengedepankan aksi diplomatis, melalui berbagai komunikasi politis dengan pihak Jepang. Sedangkan, bagi golongan muda, aksi-aksi taktis mereka anggap lebih berguna daripada menunggu Jepang memberikan kemerdekaan bagi Indonesia.

Mendapatkan kemerdekaan dari Jepang, adalah hal yang sangat dibenci oleh golongan muda. Mereka lebih kuat pendiriannya, untuk meraih kemerdekaan dengan jalan mandiri. Tanpa diatur-atur atau seolah dikasihani. Nah, dari sini, Sutan Syahrir yang mendapat porsi untuk bergerak di "bawah tanah", mampu memberi sinyalemen, bahwa Indonesia sudah saatnya merdeka.

Para tokoh harus sesegera mungkin menyelesaikan perihal dasar-dasar Negara, dan mempersiapkan naskah-naskah Proklamasi yang sedianya dapat dikumandangkan. Melalui radio yang dimilikinya, Sutan Syahrir terus memantau kondisi militer Jepang dalam berbagai medan pertempuran. Sejak awal bulan awal Januari 1945, keadaan mulai dianggap menguntungkan bagi Indonesia.

Maka, tidak ada kata lain. Proklamasi Kemerdekaan harus segera dipersiapkan.

Seperti yang dijelaskan oleh P.K. Ojong dalam buku Perang Pasifik, bahwa kampanye militer di Filiphina adalah kunci dari kekalahan Jepang. Terlebih, Angkatan Laut Jepang sudah dihabisi sejak tenggelamnya Kapal Perang Yamato bersama dengan gugurnya Laks. Yamamoto selaku Komandan Angkatan Laut Jepang selama Perang Dunia 2.

Begitupula dengan peristiwa di bom atomnya kota Hiroshima dan Nagasaki oleh Sekutu pada awal bulan Agustus 1945. Semakin membuat Jepang tidak mampu lagi bangkit dari kekalahan. Berita terkait hal ini juga diketahui oleh Sutan Syahrir, seraya memantau kondisi militer Jepang di Indonesia.

Setidaknya, para pejuang Indonesia telah dianggap siap bila sewaktu-waktu berhadapan dengan pasukan Jepang. Sebelum Sekutu merebut kekuasaan dan memberlakukan darurat militernya di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 14 Agustus 1945, melalui radio yang disembunyikannya di balik lemari, Sutan Syahrir mendengar bahwa Jepang telah mengakui kekalahannya (sumber BBC).

Maka, tanpa menunggu waktu lama, Syahrir langsung beranjak dari "markas"nya untuk menemui Soekarno. Ia meminta secara langsung agar Soekarno segera Memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia. Tetapi, Soekarno dengan tegas menolak.

Sebenarnya hal serupa pernah Syahrir lakukan pada bulan Juli 1944, ketika ia tahu Jepang sudah terdesak. Dengan jalan menemui Tan Malaka di Bayah, untuk dapat Memproklamirkan Kemerdekaan di Bayah. Tetapi kala itu, Tan Malaka juga menolak desakan Syahrir.

Mendapati sikap Soekarno yang dianggap sebagai kolaborator Jepang, seketika Syahrir marah. Ia hendak melakukan upaya "gila" dengan para golongan muda lainnya, yakni Memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanpa Soekarno ataupun Hatta, di Cirebon.

Di Cirebon, para pemuda pendukung Syahrir akhirnya berhasil menghimpun ratusan massa. Melalui dr. Soedarsono dan Maroeto Nitimihardjo, mereka Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, tepat pada tanggal 15 Agustus 1945.

Tetapi peristiwa itu tidak berdampak besar dalam politik kenegaraan Indonesia. Karena rakyat lebih percaya Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin politis yang layak untuk membacakan teks Proklamasi. Begitupula dengan Jepang, alih-alih mengawasi, justru pasukan Jepang malah angkat kaki dari area lapangan Kejaksan.

Hal inilah yang kelak memberi ide golongan muda untuk "menculik" Soekarno dan Hatta, dengan upaya paksaan demi membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Tentunya di Rengasdengklok, yang sudah "dikondisikan" oleh para pejuang, agar pembacaan Proklamasi aman. Tetapi, lagi-lagi, Soekarno dan Hatta menolak.

Sutan Syahrir yang begitu getol menyuarakan kemerdekaan, akhirnya hanya bisa pasrah menuruti kemauan Soekarno dan Hatta. Tetapi, ada satu hal yang sekiranya dapat kita pahami dalam peristiwa ini. Yakni, semangat pantang menyerah Sutan Syahrir yang berjibaku tiada henti hanya demi Proklamasi. Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun