Mendapati sikap Soekarno yang dianggap sebagai kolaborator Jepang, seketika Syahrir marah. Ia hendak melakukan upaya "gila" dengan para golongan muda lainnya, yakni Memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia tanpa Soekarno ataupun Hatta, di Cirebon.
Di Cirebon, para pemuda pendukung Syahrir akhirnya berhasil menghimpun ratusan massa. Melalui dr. Soedarsono dan Maroeto Nitimihardjo, mereka Memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia, tepat pada tanggal 15 Agustus 1945.
Tetapi peristiwa itu tidak berdampak besar dalam politik kenegaraan Indonesia. Karena rakyat lebih percaya Soekarno dan Hatta sebagai pemimpin politis yang layak untuk membacakan teks Proklamasi. Begitupula dengan Jepang, alih-alih mengawasi, justru pasukan Jepang malah angkat kaki dari area lapangan Kejaksan.
Hal inilah yang kelak memberi ide golongan muda untuk "menculik" Soekarno dan Hatta, dengan upaya paksaan demi membacakan Proklamasi Kemerdekaan. Tentunya di Rengasdengklok, yang sudah "dikondisikan" oleh para pejuang, agar pembacaan Proklamasi aman. Tetapi, lagi-lagi, Soekarno dan Hatta menolak.
Sutan Syahrir yang begitu getol menyuarakan kemerdekaan, akhirnya hanya bisa pasrah menuruti kemauan Soekarno dan Hatta. Tetapi, ada satu hal yang sekiranya dapat kita pahami dalam peristiwa ini. Yakni, semangat pantang menyerah Sutan Syahrir yang berjibaku tiada henti hanya demi Proklamasi. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H