Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ospek "Sok" Keras Itu Warisan Penjajah

13 Agustus 2022   06:00 Diperbarui: 13 Agustus 2022   06:23 719
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi plonco/ospek (Sumber: Kompas/ROBERT ADHI KUSUMAPUTRA)

Selain itu, pengenalan yang berorientasi terhadap kekerasan fisik dan verbal juga kerap terjadi pada masa Jepang. Lantaran mereka lebih mendekatkan konsep pendidikan yang berorientasi militeristik. Jadi, bukan lagi pendekatan kesadaran kedaerahan, seperti yang diterapkan pada masa Belanda.

Walau faktanya pada masa Belanda juga kental dengan pendikotomian antara golongan pribumi dan asing. Semua diklasifikasikan secara berbeda sesuai dengan tingkat derajat sosial keluarganya, walaupun tetap konsen dalam tujuan positif.

Nah, hal inilah yang kemudian terus berkembang hingga masa kemerdekaan. Walau mengalami berbagai perubahan orientasi, yang kala itu lebih mengedepankan konsep Nasionalisme sebagai dasarnya. Juga penerapan "perploncoan" dengan penggundulan yang kemudian hanya diterapkan dalam pendidikan militer.

Dijemur, merayap, terlentang dibawah terik matahari, atau dilecehkan secara fisik dan verbal, adalah bagian dari pengenalan yang terjadi pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Karena sekali lagi, pada masa itu orientasinya adalah membentuk mental perang.

Dimana lambat laun sistem ini menjadi sebuah kebiasaan yang kelak berkembang menjadi ajang eksistensi dari para senior di lembaga pendidikan tersebut. Selain karena kerap terjadi aksi-aksi kekerasan yang justru mengingatkan kita kembali layaknya era "perploncoan" seperti masa pendudukan Jepang.

Penyeragaman, gundulisasi, dan atribut-atribut yang mungkin saja jauh dari kesan positif. Ya, tentu saja, kita tidak ingin hal demikian terjadi lebih tragis lagi saat ini, seperti yang beberapa waktu lalu terjadi di Makassar. Apalagi pendidikan saat ini lebih berorientasi pada konsep humanisasi yang egaliter dan merdeka.

Jika salah, arahkan secara edukatif dengan berbagai pendekatan. Bukan malah dijemur atau disuruh melakukan sesuatu yang terkesan negatif dan merugikan. Karena kita tidak lagi hidup di era penjajahan Jepang. Terlebih jika hal ini kerap terjadi di tingkat pendidikan tinggi, seperti di kampus-kampus.

Walau bukan hal baru, pendekatan berbasis humanisme sekiranya justru dapat memberi manfaat bagi semua. Memperkenalkan hal yang positif dengan tugas kemanusiaan, sekiranya dapat menjadi alternatif bagi konsep pengenalan siswa/mahasiwa baru saat ini. Dengan tidak meninggalkan rasa Nasionalisme tentunya, apalagi kekerasan, baik fisik ataupun verbal.

Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun