Dihadapan A.H. Nasution, Panglima memberikan surat agar disampaikan secepatnya kepada Pemerintah. Tetapi, sebelum beranjak, Pak Nas membaca isi dari surat yang belum diberi nomor untuk diteruskan. Dengan suasana hangat, Pak Nas memberi masukan kepada Sang Panglima, Â "lebih baik persatuan pimpinan APRI daripada soal strategi perjuangan", ungkapnya.
A.H. Nasution meneruskan, "Bagaimanapun baiknya strategi, kalau pecah antara kedua pucuk pimpinan nasional dan militer, maka perjuangan akan gagal". Sejenak Sang Jenderal berpikir terhadap apa yang dijelaskan oleh Pak Nas, untuk kemudian meneruskan sikapnya.
Lagi-lagi, sikap ksatria yang Sang Panglima adalah keputusan akhirnya. Beliau tidak jadi meneruskan surat untuk diberikan kepada Presiden Soekarno. Lantaran penjelasan yang diterimanya dapat disimpulkan sebagai akhir dari perjuangannya. Walau tidak melalui medan gerilya.
Seolah Jenderal Soedirman tahu, bahwa di akhir hayatnya, beliau hanya dapat memimpin perjuangan melalui peristirahatannya di Rumah Sakit Panti Rapih. Sebelum berpindah ke kediamannya di Magelang, untuk beristirahat selama-lamanya pada 29 Januari 1950. Tetapi, surat bertanggal 1 Agustus 1949 itu tetap menjadi misteri hingga kini.
Seandainya surat tersebut diterima oleh Presiden Soekarno, tentu kisah sejarah akan berbeda. Seperti kita ketahui, pada masa itu tengah terjadi gejolak politik antara Pemerintah dengan kelompok militer. Dimana konflik diantaranya kerap diselesaikan oleh Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Sekiranya ini yang dapat penulis kisahkan, dari semangat juang yang tak pernah padam, dari semangat berkisah tentang betapa besarnya bangsa Indonesia yang kita cintai ini. Khususnya melalui kisah sejarah di masa lalu. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H