Agresi Militer Belanda 1 yang terjadi sejak 21 Juli 1947, akhirnya sampai juga mengarah ke kota Malang. Karena di kota inilah, aset para kolonialis ingin kembali direbut. Yap, tentu sudah sesuai dengan namanya, yakni Operation Product, yang artinya target utama aksi polisionil ini adalah aset yang dulu dimiliki oleh pemerintah kolonial Belanda.
Mereka hendak menguasai kembali dengan berbagai macam cara dan upaya. Tentu saja, faktor ekonomi menjadi alasan utama mereka. Jadi, bukan sekedar ingin menjajah lagi ya, melainkan menguasai potensi sumber daya alam Indonesia yang belum selesai dieksploitasi oleh para penjajah, sejak mereka berkuasa dahulu. Khususnya terhadap perusahaan-perusahaan Belanda yang ada disana.
Ya, Malang memang potensial dalam aspek perkebunan industri. Suatu hal yang sangat penting bagi Belanda, pasca negaranya porak poranda akibat Perang Dunia 2. Mereka berupaya mencari sumber dana pengganti kerugian perang, ya tentu saja dari wilayah bekas jajahan mereka.
Kembali kepada peristiwa Agresi Militer Belanda 1. Tak lama, setelah Belanda merapat di Surabaya sejak 21 Juli 1947. Dari Sidoarjo, pasukan dari brigade X KNIL yang telah menguasai daerah itu, terus merangsek masuk menuju wilayah-wilayah Republik, khususnya kota Malang. Sebelumnya, selama dua hari, area pantai utara telah luluh lantak diambil alih oleh pasukan Belanda.
Setelah Porong jatuh ke tangan Belanda, bersamaan dengan Bangil, maka pintu menuju Malang telah terbuka lebar. Disertai pasukan infantri beserta kendaraan lapis baja (tank) mereka dengan beringas menghancurkan setiap lokasi yang dianggap sarang pasukan pejuang. Biasanya disertai dengan aksi-aksi pembakaran desa-desa penduduk.
Mengetahui berbagai peristiwa tersebut, kalangan pelajar serta merta langsung melibatkan dirinya untuk terjun ke medan laga. Khususnya dari barisan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP) kota Malang. Berbekal senjata seadanya, dan beberapa granat tangan hasil kearifan lokal (gombyok), mereka bersiap di berbagai sudut kota.
Tetapi, melihat situasi yang kurang mendukung, khususnya dalam hal persenjataan yang tidak memadai, maka diadakanlah rapat darurat oleh para pejuang. Tanggal 29 Juli, posisi Belanda sudah sangat dekat dengan kota Malang, karena area Batu, juga tengah dimasuki oleh pasukan infantri Belanda.
Ditambah lagi karena adanya persoalan salah persepsi antar para pemuda dan pejuang di kota Malang. Suasana kacau ditambah gerak pengungsian semakin membuat kota Malang tidak kondusif. Aksi-aksi yang merugikan justru terjadi ketika kondisi sedang kacau dan berkecamuk.
Hingga tanggal 30 Juli 1947, pasukan reguler TNI yang sudah melancarkan sabotase dan pembakaran terhadap bangunan-bangunan potensial dihadapkan dengan pasukan besar Belanda di arah utara. Aksi saling tembak tidak dapat dielakkan, dentuman meriam dari kanon-kanon tank Sherman bersahutan menembus garis pertahanan kota Malang.
Mengetahui bahwa sekitar kota sudah jatuh, maka para pejuang melakukan aksi pembakaran di setiap sudut kota sambil bertempur menahan gerak masuk pasukan Belanda.