Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pekik Merdeka dari Prambon Wetan

24 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 24 Juli 2022   06:31 3302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pasukan Belanda menyisir seluruh area desa tanpa ampun, baik itu orang tua, dewasa, bahkan balita. Semua dihadapkan dengan maut yang berada dari ujung bedil. Ini lebih gila dari peristiwa Rawagede! Tatkala seorang ibu gugur bersama balita yang digendongnya, tatkala seorang tua yang renta harus rela menyambut maut dihadapannya. Tapi itulah fakta sejarah yang harus diungkap.

Kesaksian dari Ben Ruerling, salah seorang tentara Belanda yang tertawan pada aksi penyergapan justru menyesalkan terjadinya peristiwa tersebut. Karena ia merasa sangat dihormati sebagai tawanan perang, lantaran ditengah kesusahan, para pejuang Republik tetap berusaha menyiapkan roti, susu, dan keju untuk semua tawanan perangnya.

Peristiwa Prambon Wetan justru telah mengoyak rasa kemanusiaannya sebagai tentara. Tidak ada pembenaran atas insiden yang merugikan penduduk sipil dalam suatu perang. Tetapi rasa kemanusiaan ini justru tidak berlaku terhadap mereka yang berjuang untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya, ungkapnya. Ben sangat menyayangkan terjadinya persitiwa tersebut.

Lantas, bagaimana dengan Soetjipto? Esok hari usai serangan, ia bersama keluarganya mencoba untuk kembali ke desa. Soetjipto menemukan adik dari kakeknya telah meninggal, bersama pak dhe dan istrinya, juga teman sepermainannya bernama Guntoro, dengan sebuah lubang besar di dadanya. Nyaris tak ada sisa, bagi para penduduk yang bertahan di desa.

Dalam hal ini, penulis juga memohon maaf, bila tulisan mengenai perihal korban secara spesifik tidak dapat lebih jauh diutarakan, karena keterbatasan kemampuan untuk merangkainya dalam kata-kata. Hati ini bergetar, ketika membaca fakta terkait peristiwa ini.

Fyi, pada tahun 2015 lalu, surat kabar NRC Handelsblad justru memberitakan fakta yang sebaliknya. Walau pada akhirnya data dan saksi dari Marjolei dinyatakan sesuai dengan validitasnya. Bukti-bukti terkait peristiwa ini tentu menjadi dasar penilaian Marjolei terhadap apa yang terjadi di Prambon Wetan, dan tentu saja untuk diungkap kebenarannya bukan untuk ditutup-tutupi.

Drama peristiwa yang tentu saja tidak boleh dilupakan hingga kapanpun juga. Pekik merdeka seakan terus menggema dari tiap sudut desa Prambon Wetan. Khususnya sebagai bagi generasi pembelajar, yang sudah sepatutnya dapat merawat cita-cita perjuangan bangsa di masa lalu tanpa terkecuali.

Semoga informasi ini dapat menambah wawasan, pengingat, dan pemantik kita untuk dapat terus menjaga bangsa Indonesia dengan segenap rasa cinta kita. Karena sejatinya para kusuma bangsa tidak pernah berharap pamrih untuk sekedar dapat dikenang. Itu saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun