Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Siapa Diuntungkan?

5 Juli 2022   06:00 Diperbarui: 5 Juli 2022   10:01 1344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dokumentasi di atas adalah simbolisme dari empat golongan besar kala itu (1960). Paling kiri adalah Mr. Ali Sastroamidjojo (nasionalis), baris kedua adalah A.H. Nasution (TNI), ketiga adalah K.H. Idham Chalid (agama), dan D.N. Aidit sebagai (komunis). 

Jadi bukan hanya tiga golongan, melainkan empat, yakni eksistensi Angkatan Bersenjata sebagai salah satu poros politik yang tidak dapat dipandang sebelah mata.

Hadirnya Angkatan Bersenjata dalam panggung politik Indonesia memang telah terjadi sejak Belanda secara resmi hengkang dari Indonesia, sekitar akhir tahun 1949. 

Dominasi kekuatan bersenjata kerap menjadi penentu dalam menghadapi segala gejolak yang ada di berbagai daerah.

Tidak ada pergolakan yang berakhir dengan "damai", paling jauh hanya upaya rekonsiliasi antara pemerintah pusat dengan daerah. 

Sisanya, dibabat habis dengan melalui pendekatan militer. Hal inilah yang membuat pamor Angkatan Bersenjata naik dipermukaan publik kala itu.

Berbeda dengan dukungan publik terhadap golongan komunis, yang rata-rata didasari atas ketidakpahaman dengan pola dukung skeptis dan oportunistik. 

Mereka berangkat dari harapan semu yang dikendalikan hanya demi kekuatan politis. Tidak lebih dari perjuangan kelas yang rata-rata direalisasikan dengan pendekatan konflik.

Namun yang secara konsisten bergerak secara masif adalah dari golongan agama. Mereka lebih mendasar dalam aspek religiusitas massa. 

Seperti kita ketahui, mayoritas massa berbasis agama menjadi salah satu kekuatan besar kontestator politik di tahun 1955. Hal inilah yang secara faktual dianggap sebagai penyeimbang dari gerakan komunisme di Indonesia kala itu.

Kembali kepada persoalan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Konstituante yang terbentuk usai pemilu justru membuat suasana politik semakin penuh dengan nuansa konflik kepentingan. 

Terhitung ada 10 kali pergantian kabinet terjadi sejak Indonesia menerapkan sistem demokrasi liberalnya. Yakni sejak akhir tahun 1949 hingga dikeluarkannya Dekrit Presiden untuk membubarkan parlemen pada tahun 1959.

Prosesi pemilu di tahun 1955, sebenarnya hanya "ajang" unjuk kekuatan antar kelompok dengan membawa ideologinya masing-masing. Selebihnya, TNI sebagai simbol kekuatan negara, hanya berperan sebagai "penonton" kisruhnya parlemen. 

Terlebih ketika A.H. Nasution pernah berupaya membubarkan kabinet pada 17 Oktober 1952. Dimana hal ini membuat hubungannya dengan Soekarno menjadi renggang.

Tetapi, kemudian karena Nasutionlah justru Soekarno mengeluarkan Dekrit Presidennya. Polemik antar golongan di parlemen akhirnya menyebabkan kegagalan perumusan Undang-Undang Sementara 1950 kepada Undang-Undang Dasar 1945. 

Hal ini yang menjadi faktor utama Soekarno selaku Presiden, memutuskan untuk mengambil alih kebijakan politik.

Sebagai realisasi, parlemen kemudian mengadakan pemungutan suaranya untuk menentukan sikap dan arah politik negara. 

Dimana dalam setiap pengajuan Dekrit (tanggal 1 dan 2 Juli 1959) faktanya para anggota konstituante tidak pernah hadir untuk memenuhi quorum. Hal ini dianggap A.H. Nasution sebagai pertanda buruk bagi masa depan bangsa.

Sudah jelas, karena faktor kepentingan kelompok, parlemen justru mengabaikan harapan masyarakat demi perbaikan bangsa. 

Respon positif justru datang dari Angkatan Bersenjata, melalui memonya, A.H. Nasution segera mengeluarkan aturan pelarangan kegiatan politik terhadap setiap partai. Siapapun yang melanggar, akan dikenai sanksi tegas dari militer.

Pada momen inilah, hubungan Soekarno dengan A.H. Nasution mulai kembali harmonis. Dukungan penuh terhadap Presiden untuk membubarkan konstituante berbuah manis. Hingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan, dengan isi:

1. Pembubaran konstituante,

2. Kembali kepada UUD 1945,

3. Tidak berlaku lagi UUDs 1950, dan

4. Dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dean Pertimbangan Agung Sementara (DPAS).

Lantas, bagaimana dampaknya terhadap konstelasi politik di Indonesia kala itu?

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 ini adalah pintu dari pemberlakuan sistem demokrasi terpimpin. Dimana poros-poros kekuatan partai terkuat yang berada di sekitar Presiden, bertugas sebagai pengarah kebijakan politik. 

Hal ini tentu saja menjadi peluang bagi golongan komunis untuk memainkan perannya. Tetapi jangan lupa, ada golongan nasionalis dan agama yang tetap menjadi bagian dari politik Indonesia kala itu.

Walau pada area "akar rumput", konflik antar golongan tetap kerap terjadi sebagai reaksi dari transisi arah politik bangsa. Baik secara kelompok, ataupun terstruktur dalam konotasi atas dasar ideologi atau partai tertentu. 

Berbagai peristiwa konflik ini tentu saja kerap memakan korban di kedua belah pihak yang bertikai. Tak ayal, kelak secara perlahan, angkatan bersenjata melihat realitas ini sebagai ancaman terhadap kedaulatan bangsa.

Nah, atas dasar inilah kemudian ide mengenai Nasakom muncul dan berkembang, sebagai alternatif ideologi yang "konon" dapat berdiri diatas semua golongan. 

Walau pada akhirnya justru mengorbankan para pucuk pimpinan angkatan bersenjata, ketika peristiwa 30 September 1965 terjadi, termasuk A.H. Nasution, yang dijadikan target golongan komunis untuk disingkirkan.

Lantas siapa yang diuntungkan dari peristiwa ini? Sekiranya para pembaca sudah dapat menyimpulkan siapa yang dapat memainkan perannya di kemudian hari. 

Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan kesejarahan kita, dalam melihat peristiwa Dekrit Presiden dari berbagai macam pendekatan sejarah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun