6. Berwatak lemah karakternya
Bila kita melihat enam poin kritik diatas, maka hanya ada satu yang tersisa dari sifat manusia Indonesia yang positif. Yakni, artistik dan berbakat seni. Walau artikulasi yang dapat menjadi pendekatannya hanya ada dalam ruang-ruang seni dan karya budaya.
Tetapi, lima poin lainnya sudah seharusnya dapat menjadi ajang refleksi buat kita semua. Kecenderungan bersifat munafik dan bermental lemah atau menerima, sekiranya lahir dari berbagai pengalaman yang beliau dapatkan. Terlebih bila membahas sisi feodalistik yang menjadi kultur bangsa ini hingga kini.
Bukan hanya persoalan sosial, tetapi kritik terhadap ruang metafisik juga menjadi sorotan tajam beliau ketika memproyeksikan masa depan bangsa. Menjadi sesuatu hal yang aneh, tatkala kita lebih percaya terhadap pawang hujan daripada terhadap lembaga yang bertanggung jawab atas cuaca.
Bahkan sampai dibuat viral, area-area mistis yang malah semakin marak dalam lingkup publik. Hal ini tentu akan mengikis karakter artistik yang positif tersebut. Hanya demi konten berbalut misteri, animo publik seakan terperdaya dalam dimensi-dimensi gaib yang tidak realistis.
Bahkan hal ini kerap menjadi headline berita-berita yang populer dikalangan masyarakat. Sungguh sesuatu yang telah diprediksi oleh beliau tatkala mengutarakan kritiknya dahulu.
Sekiranya upaya modernisasi tidak akan berjalan dengan baik, apabila sisi-sisi takhayul tetap melekat dalam kebiasaan manusia Indonesia. Walau ini sebatas kritik terhadap pola perilaku sosial kita yang masih relevan hingga kini, tidak ada salahnya bila hal ini dapat menjadi proyeksi dan refleksi diri bagi kita semua.
Walaupun akan tetap menjadi pro kontra bagi masyarakat Indonesia saat ini. Sekiranya semacam itulah yang dapat penulis abstraksikan, yang juga menjadi kritik diri bagi penulis. Agar tidak terjadi justifikasi atas apa yang telah dikemukakan melalui enam poin diatas.
Maestro dalam bidang jurnalistik dan sastra ini tentu sudah tidak diragukan lagi kiprahnya. Bahkan jeruji besi juga telah beliau rasakan ketika berani menentang penguasa pada tahun 1956. Dimana beliau baru dibebaskan pada tahun 1966, setelah terjadinya peralihan kekuasaan.
Bicara Mochtar Lubis adalah sebuah jalan panjang perjuangan yang tiada akhir, seperti yang beliau kisahkan dalam novel Jalan Tak Ada Ujung.
Tahun 2004, beliau wafat karena sakit yang dideritanya. Sebagai seorang jurnalis dan sastrawan hebat, beliau telah meninggalkan banyak kenangan yang selalu dapat menjadi kritik bagi kita semua. Tak lain karena rasa cintanya terhadap bangsa Indonesia, guna meraih setiap harapannya di masa yang akan datang. Semoga bermanfaat.