Sejarah Meliau tidak dapat dipisahkan dari pejuang yang bernama Pang Suma. Sebuah nama yang mungkin tidak dikenal oleh generasi saat ini. Sebagai pahlawan besar suku Dayak Desa, Pang Suma diketahui lahir di Nek Bindang, Meliau, Kalimantan Barat, pada tahun 1911. Tetapi secara rinci, biografinya belum dapat digali lebih dalam karena keterbatasan data sejarah mengenai kisah hidupnya.
Nama Pang Suma tercatat dalam rekam jejak perlawanan rakyat Kalimantan Barat dari pasukan Jepang. Pang Suma sendiri dikenal sebagai salah seorang pemimpin pasukan suku Dayak, tatkala peristiwa Meliau terjadi. Sebuah peristiwa yang membuat Meliau "banjir darah" dari para pasukan Jepang.
Peristiwa yang terjadi pada 30 Juni 1945 ini dilatarbelakangi sebagai akibat dari sikap sewenang-wenang Jepang terhadap suku Dayak Desa. Dimana setelah mengalami beberapa insiden pertikaian, seketika pasukan Dayak memasuki Meliau dari berbagai penjuru. Mereka memburu semua tentara Jepang, tak terkecuali para penduduk yang dianggap berkhianat. Meliau pun seketika terkepung dan dikuasai.
Setelah melalui berbagai pertempuran yang terjadi di setiap sudut Meliau, akhirnya kemenangan mutlak jatuh kepada para pejuang Dayak. Seketika, nama Pang Suma menjadi trending topic diantara para panglima perang Jepang yang tengah berkuasa di Pontianak. Kekuatan Jepang masih kuat disana kala itu, walaupun tengah terdesak oleh Sekutu usai kekalahannya pada pertempuran Laut Karang.
Tetapi uniknya, mengenai berapa jumlah korban yang jatuh pada peristiwa ini, nyaris tidak ada data yang menerangkan. Para pasukan Jepang yang tewas, seolah-olah hilang dari Meliau. Walau kita mengenal adat suku Dayak tatkala melakukan pertempuran ada tradisi yang tidak dapat dipisahkan.
Beberapa literasi menjelaskan, bahwa sesaat sebelum Pang Suma melancarkan serangannya, ada upacara "mangkok merah" yang dijalankan oleh para pejuang Dayak. Walau pendekatan secara antropologis ini masih dirasa belum dapat menjelaskan secara sistematis hingga prediktif.
Secara kronologis, sebenarnya peristiwa ini adalah klimaks dari pertikaian panjang antara pasukan Jepang dengan suku-suku Dayak. Khususnya mengenai persoalah kerusakan hutan, sebagai akibat dari eksploitasi alam oleh Jepang. Selain persoalan kebijakan romusha yang menyengsarakan, hanya demi kepentingan perang Jepang.
Sejak tahun 1942, upaya-upaya Jepang menguasai dan mempengaruhi masyarakat adat Kalimantan selalu mengalami pasang surut. Sistem pengupahan yang dilakukan Jepang untuk mengganti tenaga para penduduk, justru menimbulkan konflik sosial yang berakhir pada serangkaian pembunuhan terhadap orang Jepang disana.
Dimana Pang Suma sangat jelas menentang romusha, bahkan berani secara terang-terangan melakukan perlawanan terhadap seorang Jepang bernama Takeo Nakatani. Dilain tempat, Pang Suma bersama saudaranya Pang Ajung juga berhasil membunuh seorang mandor Jepang bernama Osaki.
Kisah serangan pasukan Dayak Desa terhadap pasukan Jepang di Meliau ini nyaris sama kisahnya dengan Sheediq Bale. Dalam film Warriors of The Rainbow: Sheediq Bale, menjelaskan kisah suku-suku pedalaman Taiwan yang kala itu tengah melawan pasukan pendudukan Jepang. Mereka berasal dari hutan-hutan, dan melakukan serangan secara sistematis untuk memberi perlawanan.
Baik Pang Suma ataupun Sheediq Bale, pada serangan pertamanya sama-sama berhasil menguasai daerah tujuannya. Wilayah yang menjadi target serangan sama-sama berhasil ditaklukkan untuk dikuasai selama beberapa waktu. Ya, hanya beberapa waktu tentunya, karena pihak Jepang sudah pasti memberikan serangan balasannya.
Pang Suma hanya berbekal sabur (senjata tajam sejenis mandau) ketika melakukan perlawanan. Selain dari kesaktiannya yang konon tidak mampu ditembus oleh senjata api, maupun senjata tajam. Wajar ketika mengetahui hal ini, pihak Jepang langsung mengerahkan mata-matanya, untuk mencari tahu kelemahan Pang Suma.
Tak perlu waktu lama, pihak Jepang mampu mengetahui kelemahan Pang Suma melalui pengkhianat dari bekas teman seperguruan. Melalui tembakan yang diramu dari "buntat kuali", peluru yang menyasar tubuh Pang Suma akhirnya berhasil mematahkan perlawanannya. Mengetahui hal itu, pasukan Dayak lantas melakukan undur diri untuk bergerilya di pedalaman.
Tepatnya pada tanggal 17 Juli 1945, perlawanan Meliau dapat dipatahkan oleh Jepang. Dengan kekuatan yang lebih besar, untuk melakukan serangan balik terhadap posisi para pejuang Dayak yang tengah bertahan. Hal ini terjadi terus menerus, hingga pasukan Sekutu datang pada Sepetember 1945, untuk mengambil alih kekuasaan Jepang.
Babak selanjutnya tentu saja adalah pasukan Sekutu yang diboncengi oleh Belanda menjadi lawan para pasukan Dayak. Dalam berbagai literasi, Tjilik Riwut telah mengulas peran serta suku Dayak dalam merebut kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan hingga kisah mengenai sepak terjang Bulan Jihad, yang pernah penulis kisahkan, Bulan Jihad Sang Panglima Burung.
Nama Pang Suma kini diabadikan melalui sebuah tugu perjuangan yang didirikan dekat dermaga Meliau. Dimana Pang Suma diceritakan, gugur di dekat jembatan tersebut. Sedangkan, jasad Pang Suma kemudian dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Meliau atau kini lebih dikenal dengan Makam Pang Suma.
Semoga kita senantiasa dapat terus menghormati perjuangan para kusuma bangsa yang telah berjuang untuk Indonesia dahulu kala. Melalui peristiwa Meliau ini, tentu dapat kita jadikan sebagai momentum untuk mengenang perjuangan Pang Suma. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H