Nasakom yang identik dengan penggabungan tiga ideologi; agama, nasionalis, dan komunis tentu sudah familiar terdengar. Fusi ideologi yang pernah dijadikan landasan negara pada masa Orde Lama, ketika Presiden Soekarno menjabat.
Seperti yang telah diungkap bahwa medio 60an adalah era konflik ideologi yang kerap menyebabkan terjadinya konflik sosial. Biasanya pun diperparah dengan aksi-aksi sepihak bersenjata antar kelompok ideologis tersebut.
Jenderal Ahmad Yani, kita ketahui merupakan salah satu korban dari pemberontakan komunis di tahun 1965. Jasadnya diketemukan di sumur tua area Lubang Buaya bersama jasad pahlawan revolusi lainnya.
Konflik horizontal antara elemen pendukung partai komunis dengan TNI, semakin keras ketika PKI mengusulkan dibentuknya Angkatan ke 5. Jadi bukan sekedar benturan politik, tapi lebih mengarah kepada intimidasi yang "berbau" kekerasan.
Dalam beberapa pidatonya, Jenderal Ahmad Yani (seputar Juni 1965), pernah menyinggung persoalan eksistesi komunis yang dianggap semakin radikal.
Menghadapi gelagat itu, pada beberapa kesempatan publik, Ahmad Yani bahkan dengan tegas mendukung Nasakomisasi di segala aspek demi semangat revolusi. Tetapi dengan beberapa catatan.
Catatan yang dimaksud ini tidak lain adalah; nasionalis, agama, dan komunis/sosialis. Jadi tidak ada tendensi pro komunis. Tetapi lebih ke arah doktrin sosialisme yang berketuhanan.
Berketuhanan yang esa adalah satu aspek penting yang dikemukakan Ahmad Yani. Hal ini adalah bagian daripada tuduhan Dewan Jenderal yang dianggap hendak melakukan makar.
Dukungannya kepada politik Nasakom Bung Karno, ia proyeksikan sebagai orientasi gerak sosialisme, dan secara tegas menolak ideologi komunisme.
Walau beberapa argumentasi menyebutkan, sikap Ahmad Yani dalam mengejawantahkan Nasakom ini kerap mendapatkan teguran oleh Bung Karno. Khususnya terhadap Angkatan Darat, yang sangat keras menolak infiltrasi komunis di berbagai sektor.
Artinya, konsistensi Jenderal Ahmad Yani dalam menentang komunisme sudah tegas adanya. Sebagai negarawan berlatar militer, dengan perspektif sosialisme ala Yani, dirasa perlu menjadi orientasi arah bangsa kala itu. Sekali lagi bukan justru komunis yang diberi "angin segar" menentukan arah kebijakan bangsa.
Wajar, karena kala itu Partai Komunis Indonesia menempati peringkat no. 4 dalam pemilu yang diadakan tahun 1955, dengan 16,4 persen suara. Medio 1957 hingga 1958, secara kalkulatif Komunis berhasil menandingi PNI (nasionalis) dan sejajar dengan Masyumi (Agama).
Sebagai negarawan, Jenderal Ahmad Yani tetap patuh pada arahan pimpinan tertingginya, tapi dengan catatan dapat merepresentasikan orientasi komunisme menjadi sosialisme yang berketuhanan. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H