Salah satu ikon pariwisata di Kabupaten Semarang adalah Rawa Pening. Sebuah danau yang terletak di antara titik terendah Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.Â
Destinasi wisata yang tentu sangat menarik dikunjungi, karena letaknya yang strategis. Selain menjadi bagian dari haritage budaya berlatar mitos, Rawa Pening menjadi semakin eksotik tatkala para wisatawan dapat menikmatinya melalui jendela kereta wisata.Â
Dimana sebagian lokasinya memang menjadi jalur kereta api wisata yang menjadi ikon kota Ambarawa.
Banyak spot wisata yang tengah dikembangkan di berbagai lokasi di sekitar Rawa Pening ini. Selain untuk mengangkat perekonomian masyarakat, dan khasanah budaya kesejarahan yang sarat dengan berbagai peristiwa di masa lalu.Â
Kelestarian Rawa Pening tentu menjadi sangat berarti untuk semua kalangan.
Bagi wisatawan lokal maupun asing, rata-rata mereka lebih tertarik untuk menyelami realitas sosial yang unik pada penduduk sekitar rawa.Â
Mayoritas mata pencaharian penduduknya ada dua, yakni nelayan dan petani. Sebuah kesatuan yang menarik untuk diulas dalam berbagai perspektif.
Dikala hari sedang baik, biasanya mereka lebih memilih untuk menangkap ikan. Sedangkan dimana ketika eceng gondok semakin banyak, mereka alih profesi sebagai petani.Â
Eceng gondok di Rawa Pening memang dianggap sebagai gulma, yang menjadi gangguan bagi para nelayan ketika menangkap ikan.
Tetapi, masyarakat Rawa Pening justru dapat mengalihfungsikan gulma menjadi karya yang penuh dengan kreatifitas.Â
Tangan-tangan terampil dari petani eceng gondok ini faktanya memiliki nilai ekonomi yang lebih besar daripada kegiatan mencari ikan. Atau bekerja di sektor-sektor pariwisata, yang tidak menentu dan tergantung musim liburan.
Sebelum diolah menjadi berbagai jenis kerajinan tangan, eceng gondok yang dipanen itu dijemur terlebih dahulu untuk mengilangkan massa air yang ada di batangnya.Â
Karena, yang dapat dipakai untuk membuat kerajinan tangan, ada di bagian batangnya, dan ketika diolah dapat berbentuk menyerupai serat.
Hasil dari serat tersebut biasanya dianyam untuk membentuk berbagai pola sesuai keinginan dan pesanan.Â
Dalam proses pengeringan ini, batang-batang terbaik akan dipilah menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diolah juga sebagai simpul tali temali. Anyaman seperti tas, sendal, ataupun keranjang adalah diantara hasil karya dari serat eceng gondok.
Selain dari kerajinan tangan, seluruh bagian tanaman eceng gondok juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik. Nah, pupuk organik ini mempunyai harga tinggi di pasaran, dengan kisaran harga Rp. 20.000 hingga Rp. 50.000 per liternya.
Oleh karena hal itu, para petani eceng gondok di Rawa Pening seperti sudah mempunyai tradisi baru dalam bertani.Â
Tidak sakedar mengelola pertumbuhan eceng gondok sebagai komoditi yang menjanjikan, melainkan juga untuk menjaga kelestarian rawa dari gulma. Ini seolah menjadi tradisi simbiosis mutualisme yang unik.
Tradisi bertani yang identik dengan kebutuhan pangan, disini beralih menjadi kebutuhan ekonomi yang berorientasi kreatifitas. Semakin kreatif bentuk yang dibuat, maka akan semakin tinggi harga jualnya.
Inilah sekiranya, pengalaman yang dapat penulis bagikan, ketika mengunjungi masyarakat Rawa Pening.Â
Bukan sekedar mengenai proyeksi pariwisata, melainkan wacana budaya dan kearifan lokal yang mampu dikembangkan menjadi alternatif wisata bertujuan ekonomis. Atau dapat dikenal dengan ekowisata.
Tradisi bertani yang unik ini selayaknya mendapatkan ruang yang akomodatif bagi pengembangan masyarakat Rawa Pening. Untuk lebih dapat diperhatikan dari berbagai kebutuhan dan wawasan tentang orientasi pasar yang humanis. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H