Tangan-tangan terampil dari petani eceng gondok ini faktanya memiliki nilai ekonomi yang lebih besar daripada kegiatan mencari ikan. Atau bekerja di sektor-sektor pariwisata, yang tidak menentu dan tergantung musim liburan.
Sebelum diolah menjadi berbagai jenis kerajinan tangan, eceng gondok yang dipanen itu dijemur terlebih dahulu untuk mengilangkan massa air yang ada di batangnya.Â
Karena, yang dapat dipakai untuk membuat kerajinan tangan, ada di bagian batangnya, dan ketika diolah dapat berbentuk menyerupai serat.
Hasil dari serat tersebut biasanya dianyam untuk membentuk berbagai pola sesuai keinginan dan pesanan.Â
Dalam proses pengeringan ini, batang-batang terbaik akan dipilah menjadi bagian-bagian kecil yang dapat diolah juga sebagai simpul tali temali. Anyaman seperti tas, sendal, ataupun keranjang adalah diantara hasil karya dari serat eceng gondok.
Selain dari kerajinan tangan, seluruh bagian tanaman eceng gondok juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pupuk organik. Nah, pupuk organik ini mempunyai harga tinggi di pasaran, dengan kisaran harga Rp. 20.000 hingga Rp. 50.000 per liternya.
Oleh karena hal itu, para petani eceng gondok di Rawa Pening seperti sudah mempunyai tradisi baru dalam bertani.Â
Tidak sakedar mengelola pertumbuhan eceng gondok sebagai komoditi yang menjanjikan, melainkan juga untuk menjaga kelestarian rawa dari gulma. Ini seolah menjadi tradisi simbiosis mutualisme yang unik.
Tradisi bertani yang identik dengan kebutuhan pangan, disini beralih menjadi kebutuhan ekonomi yang berorientasi kreatifitas. Semakin kreatif bentuk yang dibuat, maka akan semakin tinggi harga jualnya.
Inilah sekiranya, pengalaman yang dapat penulis bagikan, ketika mengunjungi masyarakat Rawa Pening.Â