Penetapan kurikulum baru dalam dunia pendidikan, khususnya bagi jenjang menengah dan atas sekiranya tengah meninggalkan kegelisahan tersendiri bagi para guru sejarah. Terlebih ketika jam ajar mata pelajaran sejarah dikurangi dari kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Kurikulum merdeka belajar, yang semestinya menjadi harapan pembaharuan dalam dunia pendidikan, justru dianggap menjadi "momok" yang menakutkan bagi sebagian guru. Khususnya bagi para tenaga pengajar di sekolah-sekolah swasta, yang tentu saja mengandalkan jam ajarnya untuk memperoleh penghasilan.
Hal ini membuat para guru yang kehilangan jam mengajar, harus berjibaku untuk mencari sekolah-sekolah yang kosong. Dimana setiap sekolah nyaris mengalami persoalan yang sama. Jumlah guru sejarah justru lebih banyak dari jam mengajarnya. Bukan sekedar untuk memenuhi target jam mengajar dalam kepentingan profesionalitas, tetapi lebih kepada ruang kerja yang semakin tiada.
Kegelisahan ini mungkin dialami oleh semua guru sejarah. Kewajiban untuk berbagi kisah secara profesional semakin berkurang. Walau secara sadar, keberpihakan terhadap pentingnya menjaga sejarah bangsa, menjadi hal yang tidak dapat ditinggalkan. Karena bangsa yang besar adalah bangsa yang bisa menghargai sejarah bangsanya sendiri.
Terlebih pada masa pasca pandemi, learning lost yang kemudian diupayakan dapat terbangun melalui karakter pelajar Pancasila, sejatinya dapat dikatakan justru semakin berat dirasakan. Tidak lain dan bukan, karena pemahaman terkait nasionalisme dan semangat kebangsaan tidak dapat ditranformasikan melalui pendekatan digital.
Digitalisasi materi ajar sejarah dalam berbagai konten kreator, yang seharusnya dapat didukung untuk dikembangkan, faktanya tidak dapat dilakukan secara merata. Hal ini sangat dirasakan bagi peserta didik yang jauh dari lingkup area kota. Fasilitas dan sarana yang tidak memadai tentulah yang menjadi persoalannya.
Bukan menjadi alasan untuk menolak, karena hal ini berangkat dari realitas yang ada. Kesadaran untuk terjun memberi edukasi ditengah masa pandemi menjadi perjuangan yang luar biasa. Khususnya bagi para pendidik di pedalaman atau berada jauh dari akses publik. Semua telah berjuang mengerahkan tenaga dan pikirannya tanpa pamrih.
Tentu kita tidak ingin, profil Pelajar Pancasila justru malah mengurangi pemahaman kesejarahan dari para peserta didik. Pemahaman sejarah bangsa adalah hal penting yang harus dijaga. Bukan sekedar mengembangkan pemahaman digital era. Society 5.0, justru harus dapat berkembang secara berdampingan dengan pemahaman budaya dan sejarah sebagai identitas yang utama bagi generasi saat ini.
Semoga tulisan ini mampu mengurangi kegelisahan yang dialami oleh para tenaga pendidik yang sejatinya akan tetap melakukan tugasnya sebagai pengajar, walaupun berada ditengah medan pertempuran. Tugas yang diemban bukan lagi berangkat dari persoalan kepentingan pribadi, melainkan untuk masa depan generasi sebuah bangsa.
Khususnya ditengah era disrupsi yang semakin membuat kita dapat melupakan identitas bangsa dalam arus modernisasi. Dengan harapan yang mungkin tidak dapat diutarakan karena ikatan janji bakti sebagai seorang pendidik. Tentunya adalah harapan yang positif bagi perkembangan pendidikan dimasa yang akan datang. Terimakasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H