Literasi sejarah mencatat bahwa sebelum kedatangan para penjelajah asing, kawasan utara Jawa Barat ini dikenal dengan nama Sunda Kelapa. Sebagai kota pelabuhan yang menjadi sentra dari Kerajaan Pasundan sejak abad ke 12 M. Selama masa jayanya, Sunda Kelapa dikenal eksistensinya oleh para penjelajah dan pedagang hingga ke benua Eropa.
Perseteruan dengan Kesultanan Demak dan Cirebon, adalah peluang yang kemudian dimanfaatkan oleh Portugis yang kala itu tengah menjalankan misi perdagangan di wilayah Nusantara. Hal ini tentu menjadi menarik, tatkala konflik antar kerajaan di Indonesia kala itu masih kerap terjadi dan selalu dimanfaatkan oleh kepentingan bangsa asing.
Tepatnya sejak abad ke 15 M, datangnya bangsa asing ke wilayah Nusantara melalui Selat Malaka menjadi awal mula terjadinya praktek-praktek kolonialisasi yang terjadi dikemudian hari. Tidak hanya Portugis, begitupula dengan bangsa Belanda, Spanyol, Inggris, hingga Jepang. Semua hendak menguasai wilayah Nusantara yang kaya akan rempah dan sumber daya alam.
Hingga pada tahun 1522, bangsa Portugis berhasil menjalin kerjasama dengan Kerajaan Pasundan untuk membantu menghadapi konflik dengan Kesultanan Demak dan Cirebon yang kala itu semakin memanas. Hal itu disetujui dengan syarat pendirian benteng di Sunda Kelapa, guna mobilisasi pasukan Portugis.
Walau sebenarnya, Portugis akan memanfaatkan benteng ini untuk kepentingannya memonopoli perdagangan di sekitar laut Jawa. Ternyata, dukungan militer tidak didapatkan secara penuh ketika pasukan Pasundan menghadapi serangan dari Cirebon pada tahun 1527. Secara ringkas, Kerajaan Pasundan kemudian merasa dikhianati oleh Portugis dan akhirnya harus takluk dibawah Kesultanan Demak.
Pemimpin serangan ke Sunda Kelapa kala itu dikenal dengan nama Fatahillah. Ia sendiri berasal dari Kesultanan Demak, yang kala itu tengah berjaya di Nusantara. Bersama Cirebon dan Banten, Sunda Kelapa berhasil dikepung, dan pasukan Portugis mundur ke Malaka. Tepatnya pada tanggal 22 Juni 1527, Fatahillah kemudian mengganti nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta, yang artinya adalah kemenangan.
Hingga masa kedatangan kolonialis Belanda, Jan Pieterszoon Coen, mulanya hendak menamakan Jayakarta menjadi Nieuwe Hollandia. Tetapi keputusan itu ditentang oleh Kerajaan Belanda, yang memberikan nama Batavia sebagai ganti dari nama Jayakarta. Maka, sejak Belanda menguasai Indonesia, sentra pemerintahan ditetapkan di Batavia, tepatnya area Museum Fatahillah kini.
Silih bergantinya kekuasaan kolonial, membuat nama Batavia kemudian diganti oleh pemerintah Jepang. Ya, pada tahun 1942, Belanda telah menyerah kalah kepada Jepang, dan menyerahkan seluruh wilayah Hindia Belanda kepada pemerintah Jepang, baik secara politik maupun ekonomi.
Hal ini dimanfaatkan Jepang dengan mengembalikan nama Jayakarta menjadi Djakarta Toko Betsu Shi. Secara politis, ini adalah modal kepercayaan yang dibangun oleh Jepang guna mendapatkan dukungan rakyat Indonesia. Jepang akan dianggap sebagai negara pembebas, walau faktanya bersikap sama sebagai penjajah, kala itu.
Nah, usai Indonesia berhasil memproklamirkan kemerdekaannya, baru nama Djakarta kembali ditetapkan sebagai nama Ibu Kota Negara Republik Indonesia. Tetapi, masyarakat mengenal Jayakarta yang identik dengan Jakarta sebagai asal muasal nama Jakarta kini. Dimana Wali Kota Jakarta periode 1953-1958, Sudiro adalah tokoh dibalik penetapan tersebut.
Tanggal 22 Juni, kini secara rutin ditetapkan sebagai Hari Jadi Kota Jakarta. Dengan berbagai macam bentuk pementasan budaya dan kesenian Kota Jakarta yang syarat dengan hikmahnya. Tetapi, latar belakang sejarah yang menyertainya, tentu jangan sampai dilupakan oleh generasi muda saat ini. Selamat HUT Jakarta yang ke 495. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H