Kasih sayang seorang ibu, terhadap masa depan anaknya bagai seorang malaikat yang mengabulkan setiap doa dan harapan. Begitulah dengan Siti Manggopoh, yang tak ingin melihat masa depan anaknya berada dibawah penindasan kaum kolonialis Belanda. Karena sejak masa Perang Paderi pada 1803, Belanda mulai menganeksasi Sumatera Barat dengan pendekatan militer. Demi eksploitasi sumber daya alam dan manusia.
Siti Manggopoh, lahir di Manggopoh, Agam,tahun 1880. Ia terkenal karena berani mengobarkan perang Belasting terhadap Belanda pada tahun 1908. Seorang perempuan yang memimpin sekelompok pasukan untuk menyerbu benteng Belanda di Manggopoh, tidak jauh dari benteng Fort de Cock.
Sebelum mengobarkan pertempuran, ia bersama suaminya berhasil menghimpun kekuatan-kekuatan pasca terjadinya Perang Kamang beberapa waktu sebelumnya. Ia melancarkan serangkaian serangan dari dalam hutan, dengan cara mengendap-endap masuk ke area pertahanan benteng Belanda.
Hanya berbekal senjata berupa parang dan senjata alakadar lainnya, dengan tekad bulat, ia memulai serangannya di malam hari. "Setapak takkan mundur, selangkah takkan kembali", begitulah motto hidupnya. Sebelum menyerang, ia melakukan pengintaian kondisi benteng dengan cara menggendong bayinya. Hal ini dilakukan agar Belanda tidak menaruh curiga terhadapnya. Hingga ia berhasil mendapatkan catatan mengenai kekuatan Belanda secara lengkap.
Bagindo Magek, suaminya, bertugas berjaga di luar benteng, ketika terjadi penyerangan. Untuk mempersiapkan perlawanan kedua, ketika pasukan Siti menggempur pertahanan Belanda di dalam benteng. Ternyata, tidak perlu menunggu waktu lama, pasukan Siti Manggopoh yang berhasil merangsek masuk ke benteng, berhasil membunuh 53 pasukan penjaganya.
Walau mengalami luka, ketika melakukan gerakan mundur, ia bersama para pejuang lainnya berhasil lolos dari serangan balasan Belanda. Seketika perang gerilya dilakukannya dari dalam hutan, dengan bekal semangat juang dari seorang ibu yang masih menyusi anaknya. Ya, ialah Siti Manggopoh, salah seorang pejuang yang namanya nyaris terlupakan kini.
Tidak jauh lebih tenar dari R.A. Kartini atau Dewi Sartika, tidak besar seperti Cut Nyak Dhien atau Martha Tiahahu. Tetapi, rakyat Manggopoh masih mengingatnya sebagai seorang pejuang perempuan yang berani hingga kini.
Perang Belasting ini sendiri terjadi akibat penerapan pajak yang berlebihan oleh Belanda. Baik terhadap kaum Paderi atau kaum Adat, yang pada masa lampau berhasil di adu domba. Tetapi, dalam Perang Belasting ini, semua elemen yang terpisah, bersatu, untuk melakukan perlawanan. Walau tidak lebih besar dari perlawanan yang dilakukan pada masa Imam Bonjol.
Tepat di hari ini, tanggal 16 Juni 1908, Perang Belasting berkobar usai perang besar di masa lampau. Salah satunya adalah sosok Siti Manggopoh, yang mampu berperan sebagai seorang ibu pejuang dalam bunga rampai sejarah Sumatera Barat. Semoga perjuangannya dapat terus dikenang, hingga suatu saat nanti. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H