Kali ini kita akan menelisik mengenai terjadinya sebuah pertempuran besar yang pernah terjadi di Banyuwangi pada 18 Desember 1771. Pertempuran yang dikenal dengan Puputan Bayu, di sebuah wilayah Kerajaan Blambangan, Banyuwangi kini.Â
Latar belakangnya tentu pertentangan atas kehadiran VOC di wilayah Blambangan, yang telah memonopoli perdagangan dan melakukan eksploitasi alam secara berlebihan.
Begitupula dengan persoalan sosial dan ekonomi masyarakat, yang dapat dikatakan tertindas oleh kehadiran VOC sejak 1766. VOC mulai mengkontrol daerah Panarukan hingga Banyuwangi, sejak terjadinya perjanjian penaklukkan Mataram pada 1743.Â
Dalam perjanjian tersebut ditetapkan bahwa wilayah timur Jawa, dan sebagian wilayah Madura, diserahkan kepada VOC. Hal inilah yang menjadi dasar politis VOC melakukan aneksasi militernya ke wilayah Banyuwangi (Hasan Basri, 2006).
Secara ringkas, hal itu menjadi latar belakang terjadinya perang besar yang terjadi di daerah Bayu, Songon, Banyuwangi. Sebagai pusat kerajaan Blambangan, yang identik dengan berbagai hal berlatar sejarah dan mistisnya.Â
Sedikit kita singgung, bahwa konon, penguasa Blambangan sebelum menghadapi VOC, mereka melakukan colabs dengan para penguasa gaib di sekitar Raung. Khususnya kepada tokoh yang bernama Sayu Wiwit.
Konektifitas penguasa Raung ini bila ditinjau dari pendekatan budaya dan mistis, maka segala laku perbuatan manusia kala itu dapat dikaitkan dengan berbagai hal klenik/gaib yang bertujuan untuk menambah spirit power dari para pejuang Blambangan. Ketika suasana perang, hal ini sangat lumrah terjadi dalam berbagai sudut pandang kepercayaan manapun.
Dalam perang Bayu, sebagaimana hebohnya mengenai Desa Penari, dan sosok gaib Badarawuhi sebagai penguasa mistis sekitar area Blambangan. Maka tentu ada "benang merah" yang saling terkait, walau ini belum dapat dipastikan faktanya.Â
Sayu Wiwit, dikenal sebagai penguasa Raung, dan ia menjalin kerjasama dengan penguasa gaib untuk bertempur bersama melawan VOC saat peristiwa itu terjadi. Lantas, apakah penguasa pasukan demit itu menyetujui?
Hal ini dapat ditelisik melalui pendekatan simbiosis mutualisme, faktor kedekatan masyarakat lokal berkenaan dengan hal gaib, tentu menjadi ikatan yang tidak dapat dipisahkan. Para penguasa gaib akan lebih mendukung perjuangan masyarakat Blambangan daripada mendukung VOC, yang secara nyata berbeda dalam aspek kultur, adat, budaya, hingga keyakinannya.
Colabs antara penguasa gaib dengan pasukan demit ini tentu menjadi faktor utama yang mempengaruhi strategi VOC dalam menaklukkan Blambangan. Gak nanggung-nanggung, ketika berupaya menaklukkan Blambangan, VOC mengirimkan ratusan serdadu militer dari Semarang, sekitar 3000 prajurit bayaran, hingga 25 kapal besar untuk mengepung Bayu dari daerah lautan.
Ini adalah strategi terbrutal VOC yang pernah diungkap oleh Benedict Anderson dalam peristiwa Puputan Bayu. Lumbung-lumbung padi milik penguasa Blambangan dibakar dan dikepung selama berhari-hari. Pasukan Blambangan yang melawan, dan gugur, dihukum dengan tidak layak sebagai psy war. Konon sekitar 60.000 orang Blambangan gugur pada peristiwa ini, baik dari kalangan masyarakat ataupun dari para pejuang.
Thomas Stanford Raffles mendapatkan data yang lebih besar, bahwa pada peristiwa Puputan Bayu, sekitar 80.000 orang Blambangan gugur, dengan menyisakan 8.000 orang masyarakat yang hidup dalam keterpurukan. Lantas bagaimana dengan Badarawuhi, yang konon adalah penguasa pasukan demit dan Sayu Wiwit?
Usai Pangeran Jagapati gugur dalam peristiwa Bayu, dan perlawanan Sayu Wiwit dapat segera dikalahkan di selatan, maka pasukan demit tidak dapat memainkan perannya lebih jauh lagi. Konektifitas mereka terputus, usai pasukan Blambangan berhasil digiring VOC hingga ke Nusa Barong, untuk dibantai dalam pertempuran dan pengepungan dari darat dan laut.
Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, antara penguasa gaib di darat dan laut itu berbeda-beda. Mungkin perjanjian gaib yang dilakukan oleh Sayu Wiwit hanya berskala lokal, meliputi area kerajaan Blambangan dan tidak dengan penguasa laut. Pendekatan ini hanya sebagai analisis misteri yang menyelimuti peristiwa Puputan Bayu, dan bukan berlandaskan analisis sejarah.
Seperti halnya para penguasa Mataram, yang konon bersekutu dengan Ratu Laut Selatan. Ini adalah hal lumrah dalam terminologi budaya masyarakat Jawa (Clifford Geertz). Maka, hal ini bila dipahami dalam perilaku sosial dan budaya, fakta saling berkontribusi adalah jawaban dari pertanyaan diatas. Para pejuang Blambangan colabs dengan pasukan demit beserta penguasa gaib dalam upaya melakukan perlawanan kepada VOC.
So, misteri mengenai lokasi Desa Penari yang konon terletak di Desa Bayu ini, sudah pasti memiliki keterkaitan sejarah dengan peristiwa yang terjadi di masa lalu. Entah apa dasarnya menguak mitos gaib yang terjadi di Desa Penari, tetapi faktanya bahwa, Blambangan adalah kerajaan besar yang identik dengan kultur budaya dan adat yang kental.
Dimana peristiwa besar pernah terjadi di Desa Bayu kala itu dengan jumlah korban jiwa yang tidak main-main. Walau saat ini Desa Bayu sendiri viral karena diidentifikasi sebagai lokasi Desa Penari. Khususnya di area Rowo Bayu, yang konon dahulu tempat terjadinya pembunuhan massal para pejuang Blambangan ketika melawan VOC sebelum terjebak di Nusa Barong. Wallahualam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H