Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Jenderal Moestopo dan Barisan Malingnya

13 Juni 2022   06:00 Diperbarui: 13 Juni 2022   06:08 3433
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tepat pada hari ini, sosok pejuang eksentrik di kancah revolusi lahir di Desa Ngadiluwih, Kediri. Tepatnya pada tanggal 13 Juni 1913, seorang dokter pejuang yang besar dari lingkungan keluarga priyayi, Raden Koesoemowinoto. Selama masa pendudukan Belanda, ia berhasil menyelesaikan sekolah kedokteran gigi di Surabaya pada 1937 (STOVIT).

Selama masa pendudukan Jepang, Moestopo sempat ditangkap oleh kempeitai, polisi rahasia Jepang. Hal ini dikarenakan postur tubuh Moestopo identik dengan orang-orang Eropa. Selama dalam penahanan, ia berhasil membuktikan keahliannya dalam mengurus kesehatan gigi para tentara Jepang. Nah, moment inilah yang kemudian membuat dirinya direkrut untuk bergabung bersama pasukan PETA.

Ketika lulus, ia berpangkat shudancho, seperti kebanyakan orang Republik yang tergabung di PETA. Tetapi, karena kemahirannya, ia kemudian diangkat menjadi daidancho, sebagai komandan batalyon PETA di Gresik. Hal yang sangat langka terjadi, kedudukan tinggi yang diserahkan oleh Jepang kepada seorang pejuang Republik. Ya, hal ini terjadi karena Jepang tengah terdesak pada Perang Asia Timur Raya oleh Sekutu.

Hingga pada masa Proklamasi kemerdekaan Indonesia, tepatnya pada tanggal 18 Agustus 1945, Moestopo mendirikan Badan Keamanan Rakyat (BKR) di Jawa Timur. Hal ini menjadikan dirinya sangat disegani oleh para pejuang di Jawa Timur. Sontak saja, berbagai aksi perebutan senjata di Jawa Timur oleh para pejuang dari gudang-gudang senjata Jepang, dianggap sebagai tanggung jawabnya.

Padahal aksi tersebut terjadi secara spontanitas demi mempersenjatai diri dalam masa bersiap. Walau kemudian, dalam dialog yang terjadi dengan komandan garnisun Jepang, Iwabe, ia berhasil mendapatkan senjata tanpa terjadi pertumpahan darah. Karena Moestopo sangat menentang kehadiran tentara Sekutu di Surabaya. Dimana ia langsung turun keliling kota, untuk menggerakkan masyarakat guna melawan Sekutu.

Sebagai sosok yang sangat penting, Brigjen A.W.S. Mallaby sempat membuat kesepakatan dengannya pada 26 Oktober 1945. Bahwa pasukan Sekutu hanya boleh merapat di pelabuhan, untuk mengurus interniran Belanda dari Indonesia. Tapi, esoknya, justru Sekutu merangsek masuk ke dalam kota Surabaya dan melucuti senjata dari para pejuang Republik. Hal ini terjadi sesaat sebelum peristiwa 28 Oktober 1945 terjadi di Surabaya.

Peristiwa 28-29 Oktober adalah clash pertama yang terjadi antara pasukan Republik dengan pasukan Sekutu, dalam insiden pelucutan senjata. Kontak senjata ini pada akhirnya membuat Brigjen A.W.S. Mallaby terbunuh, ketika melakukan upaya gencatan senjata, pada 30 Oktober 1945. Usai peristiwa tersebut, maka serangkaian peristiwa yang mengawali pertempuran 10 November 1945 berjalan secara historiografis.

Hingga pada tahun 1946, Belanda telah menguasai wilayah pesisir Jawa, dimana kemudian ia memutuskan untuk pergi ke Jogjakarta. Hal ini dilakukannya untuk terlibat dalam pelatihan para kadet di Akademi Militer Jogjakarta, sewaktu-waktu berhadapan dengan Belanda kembali secara terbuka.

Selama di Jogjakarta, ada hal unik terjadi. Tatkala Sultan Hamengkubuwono IX resah dengan hadirnya para kriminal yang terdiri dari para perampok dan pencopet. 

Keresahan Sultan ditanggapi oleh Moestopo dengan merekrut para kriminal tersebut, ia berpendirian bahwa para kriminal tetap memiliki jiwa nasionalis dan dapat dipergunakan untuk kepentingan perang. Melihat keputusan itu, Sultan tampak setengah percaya, walau pada akhirnya Moestopo berhasil mendirikan Pasukan Terate.

Yap, anggota Pasukan Terate ini terdiri dari para kriminal hingga para pelacur. Dimana masalah ekonomi kala Republik baru merdeka, adalah persoalan yang pelik dan belum menjadi perhatian pemerintah. Maka wajar, banyak terjadi kasus-kasus perampokan, hingga pelacuran. Tetapi, Moestopo melihat ini sebagai peluang yang berguna di medan perang.

Keahlian mencuri dari Pasukan Terate ini terbukti ampuh ketika diterjunkan dalam front pertempuran Subang. Mereka berhasil membawa beragam jenis senjata dari pasukan Belanda, dan bahkan pakaian. Untuk soal pakaian, biasanya ini terjadi ketika para pasukan Belanda tengah mandi di sungai. So, sudah pasti jadi bahan lawakan, ketika prajurit Belanda tersebut kehilangan pakaiannya.

Begitu pula dengan aksi-aksi rampok yang terjadi di wilayah kekuasaan Belanda, hal ini berhasil membuat Belanda terkecoh dengan pasukan pejuang lain yang beraksi dalam sabotase. Ketika Belanda datang ke sebuah desa, justru hanya para garong yang didapatinya dan bukan para pejuang, yang akhirnya berhasil menanam ranjau dan memutus telepon di sekitar tangsi Belanda.

Tapi, nama maling, tetap saja mempunyai kebiasaan yang tidak tahu tempat. Dimana pada suatu waktu, Moestopo sendiri kehilangan koper pakaian miliknya. Begitu juga dengan para pejuang lainnya, yang kehilangan sepatu, hingga celananya. Senjata makan tuan, ungkap Letkol Sukanda Bratamanggala dalam memoarnya, yang tertawa hingga berlinang air mata ketika mengetahui hal itu.

Segera saja, murka Moestopo terhadap pasukan malingnya membuat Pasukan Terate dihentikan tugas-tugasnya. Hikayat gerilya para maling seketika musnah dari sejarah revolusi Indonesia. Tetapi, aksi-aksi mereka tidak berhenti ketika dibubarkan, kesatuan-kesatuan kecil, seperti Laskar Maling, Pasukan Copet, dan lain-lain justru berdiri dengan berbagai aksinya masing-masing. Catatan mengenai eksistensi mereka ini tertulis dalam daftar hadir di Persatuan Perjuangan, dengan nama lainnya.

Seluruh laskar dan para kelompok pejuang, hadir untuk meleburkan dirinya dalam upaya kemerdekaan 100 persen seperti gagasan Tan Malaka dalam Persatuan Perjuangan. Tentu akan lain cerita, bila kita membahasnya. Moestopo adalah sosok unik dan berbeda ketika melihat zaman bergerak, dalam menghadapi pemberontakan, konsepsi revolusi perjuangan, hingga konsentrasinya kepada pendidikan masyarakat Indonesia.

Dimana kehadiran dari lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia, tak pernah luput dari kontribusinya. Selain kiprahnya dalam dunia kedokteran gigi, sebagai identitas yang melekat pada dirinya. Pejuang kelahiran Kediri ini dianugerahi dengan berbagai bintang jasa dengan gelar tertingginya sebagai Pahlawan Nasional. Pak Moes, adalah contoh dari seorang pejuang yang gigih dan brilian dalam panggung sejarah Indonesia. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun