Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggugat Sejarah Serangan Umum 1 Maret 1949

28 Februari 2022   23:00 Diperbarui: 1 Maret 2023   12:57 2055
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sementara, Kolonel Gatot Soebroto selaku Panglima TNI di Solo, bertugas menghadang bala bantuan Belanda yang diprediksi datang dari Semarang. Hingga, keputusan untuk melakukan serangan pada tanggal 1 Maret ditetapkan, usai Sultan Hamengkubuwono IX merestui.

Hal ini tentu saja menjadi pertimbangan penting, tatkala TNI hendak melakukan serangkaian serangan kepada posisi Belanda di Jogjakarta. Karena kiprah Sultan, selaku pemimpin tertinggi di Jogjakarta adalah kunci keberhasilan siasat perang kota kala itu. 

Selama beberapa waktu, Jogjakarta berhasil dikuasai oleh TNI, sedangkan pasukan Belanda mulai mengundurkan diri seraya menunggu bantuan tiba.

Terlepas dari serangkaian peristiwa Serangan Umum 1 Maret tersebut, sejarah Indonesia sempat bergeser paradigmanya sejak masa Orde Baru berkuasa. 

Hal ini tampak ketika sejarah Serangan Umum selalu disebut-sebut adalah inisiatif dari Letkol Soeharto, yang kala itu hanya bertanggung jawab atas serbuan ke arah kota Jogjakarta. 

Jadi, klaim bahwa inisiator Serangan Umum adalah Soeharto tentu saja diragukan kebenarannya.

Kita telah ulas, bahwa kontribusi utama dari Panglima Besar Jenderal Soedirman beserta tokoh-tokoh militer yang jauh lebih tinggi kedudukannya dari Soeharto adalah kolaborator tercetusnya serangan balasan kepada Belanda. 

Apalagi di Jogjakarta masih ada Sultan Hamengkubuwono IX yang punya wewenang penuh atas area Jogjakarta.

Oleh karena itu, menggugat sejarah peristiwa Serangan Umum 1 Maret tentu sangat penting kali ini. Mengingat perihal mengenai literasi sejarah Indonesia mulai ditinggalkan dalam beberapa orientasi pendidikan saat ini. 

Tidak lain demi menjaga generasi muda yang peduli terhadap sejarah bangsanya. Karena bangsa yang besar, tentunya adalah bangsa yang mampu menghargai sejarah bangsanya sendiri. Semoga bermanfaat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun