Bicara soal alam, yang belakangan ini menarik perhatian publik. Tentu mengingatkan kita terhadap berbagai persoalan lingkungan yang tengah marak di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri, bahwa ketergantungan manusia terhadap alam sudah menjadi bagian dari kehidupan yang tidak bisa dilepaskan. Artinya, alam adalah soko guru bagi kehidupan manusia.
Problematika kerusakan lingkungan kini, dianggap memiliki keterkaitan dengan adanya upaya-upaya perusakan lingkungan demi kepentingan manusia. Semisal, orientasi pembangunan, yang telah banyak menimbulkan persoalan lingkungan. Dampak yang kemudian terjadi tentu saja adalah konflik-konflik agraria. Realitas yang kini banyak menimbulkan konflik sosial pada masyarakat.
Sebutlah Wadas, keberpihakan manusia terhadap kepentingan lingkungan terbagi dalam dua kelompok yang saling berbeda pendapat. Kebutuhan terhadap pembangunan sejatinya juga harus melihat realitas lingkungan. Bagaimana lingkungan tersebut memberikan berbagai dampak terhadap masyarakat sekitar. Baik dampak positif atau negatif kegiatan eksplorasi yang berkaitan dengan alam.
Apabila bicara soal problematika eksplorasi alam dengan orientasi pertambangan, sudah banyak konflik-konflik yang menyertainya. Seperti persoalan Pegunungan Kendeng di Pati, Tumpang Pitu di Banyuwangi, hingga perjuangan alm. Salim Kancil yang menentang pertambangan pasir di Lumajang, atau diberbagai lokasi lainnya. Ragam penolakan ini tentu saja memiliki dasar argumentasinya masing-masing.
Dalam pandangan positif tentu saja, kerusakan alam akan memberikan dampak yang merugikan bagi manusia. Begitupula dengan kebutuhan manusia terhadap orientasi ekonomi dibelakangnya. Semua memiliki probabilitasnya masing-masing bagi kelangsungan hidup manusia. Soko guru kehidupan, sudah sepatutnya menjadi landasan bagi seluruh pihak yang hendak bersentuhan dengan alam.
Baik dalam kebijakan-kebijakan yang ditetapkan, juga melihat potensi kebutuhan masyarakat yang kelak terdampak. Pendekatan humanis tentu menjadi langkah utama. Karena pada prinsipnya budaya masyarakat Indonesia lebih mengedepankan pendekatan musyawarah dan mufakat. Tidak ada ragam unsur pemaksaan ataupun keterpaksaan. Semua tentu dapat dikomunikasikan dengan baik.
Kini, sudah sepatutnya, orientasi pembangunan harus memiliki rasa keberpihakan terhadap alam. Begitu pula terhadap masyarakat sekitarnya. Sesuai data yang dihimpun melalui organisasi-organisasi yang konsen dalam lingkungan, realitas kerusakan alam di Indonesia sebaiknya menjadi referensi yang utama bagi tujuan pembangunan.
Tentu saja, agar semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Kepentingan sosial berbasis lingkungan sekali lagi harus diutamakan, dengan pendekatan-pendekatan yang humanis antar sesama manusia. Meminimalisir lagi kerusakan alam, sudah sebaiknya menjadi kebijakan-kebijakan publik yang harus diutamakan kini.
Semoga anak cucu kita kelak masih dapat menikmati dan merasakan betapa indahnya Indonesia. Kekayaan alam serta sumber daya alamnya yang melimpah, dan dapat dinikmati oleh generasi-generasi pada masa yang akan datang. Karena alam adalah soko guru kehidupan bangsa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H