Siapa yang tidak kenal dengan nama Raymond Westerling? Seorang Kapten Belanda dari kesatuan Depot Speciale Troepen (Depot Pasukan Khusus) yang melakukan pembantaian terhadap ribuan rakyat Sulawesi Selatan.
Usai pengakuan menyerah Jepang pada tahun 1945. Seluruh departemen dan lembaga pemerintahan diambil alih oleh tentara NICA. Mereka datang bersama Sekutu guna mengkondisikan keadaan pasca Perang Dunia II di Indonesia. Tak lebih, hanya ingin menjajah Indonesia kembali tentunya.
Pada akhir bulan Agustus hingga September 1945, NICA mulai mengkondisikan pemerintahan di Sulawesi untuk diambil alih semuanya dari Jepang. Begitu pula dengan tangsi-tangsi militer Jepang beserta seluruh persenjataan yang tersisa. Tentara Jepang benar-benar dilucuti.
Tetapi tidak dengan para pejuang Republik. Mereka tetap mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih Indonesia pada 17 Agustus 1945. Baik dengan jalan diplomasi ataupun bertempur. Ya, diplomasi sambil bertempur, seperti kata Nasution. Hingga pasukan DST itu tiba di Makkasar pada 5 Desember 1946.
Rakyat Sulawesi Selatan Melawan NICA
Seluruh rakyat Sulawesi Selatan menyambut kemerdekaan Indonesia. Mereka mendengar kemerdekaan Indonesia satu hari usai Proklamasi dikumandangkan melalui Andi Ahmad dan secara resmi dikabarkan pada 23 Agustus 1945. Begitu pula dengan keluarga Sitti Hasanah.
Sejak masa Jepang, keluarga Sitti merupakan pejuang kemerdekaan yang gigih menentang segala bentuk penjajahan. Tatkala Indonesia merdeka dan Belanda melalui NICA berupaya kembali lagi menjajah. Tak gentar keluarga Sitti membangun basis gerilya bagi perjuang dirumahnya, Pare-Pare.
Berkali-kali para pasukan NICA mengadakan patroli disekitar kediamannya, berkali-kali pula ia luput dalam penangkapan. Walau bendera Merah Putih disembunyikannya dikolong tempat tidurnya. Dokumen-dokumen penting perjuangan ia simpan didekat dapur, agar mudah dibakar ketika ada penyergapan.
Tentara NICA yang tengah mencari Wolter Monginsidi melakukan tindak kekerasan terhadap rakyat Sulawesi Selatan yang tidak mau bekerjasama. Tidak hanya ditangkapi, tindak kekerasan fisik dan seksual terjadi dimana-mana tanpa ada peraturan militer yang sedikit manusiawi.
Tak sedikit rakyat yang menjadi korban keganasan pasukan DST NICA. Para pejuang Republik yang melancarkan perlawanan secara gerilya juga tidak mampu menolong akibat kalah kekuatan dan persenjataan. Walau sesekali tetap melakukan perlawanan kecil di sekitar Pare-Pare.
Para pemuda yang kedapatan atau dicurigai memiliki akses dengan para pejuang segera ditangkap oleh NICA. Mereka rata-rata dijebloskan di penjara Pare-Pare. Begitu pula dengan keluarga Sitti, pada akhirnya semuanya ditahan dan dipenjarakan.