Peristiwa Bandung Lautan Api memberikan suatu prestasi untuk mengubah prespektif perjuangan yang didominasi oleh kaum laki-laki menjadi lebih objektif. Perempuan-perempuan di garis depan muncul sebagai wujud emansipasi yang hadir dalam sebuah organisasi kelaskaran bersenjata bernama LASWI.
Laskar Wanita Indonesia atau dikenal dengan LASWI ini dibentuk pada 12 Oktober 1945 di Societeit, Mardi Harjo oleh Sumarsih Subiyati, istri dari Arudji Kartawinata. Karena keberaniannya, mereka lantas dikenal sebagai "Maung Bikang" atau Harimau Wanita oleh para pejuang Republik.
Anggota ini terbentuk dari perempuan-perempuan muda, janda, atau ibu rumah tangga yang ikhlas lahir batin berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Semangat patriotismelah yang menggerakan hati mereka. Salah satu aksi heroik mereka terbukti dengan pengeboman di daerah Cicadas pada 14 Desember 1945.
Banyak yang gugur di medan laga, ya, tentu saja. Banyak yang kehialangan sanak saudaranya, sudah pasti. Apalagi kehilangan suami dan anak-anaknya tercinta, sudah jadi konsekuensi hidup bagi seorang pejuang perempuan.
Perempuan Pejuang Tanpa Tanda Jasa
Perempuan-perempuan pejuang itu telah abadi kisahnya. Ia hadir pada sebuah buku berjudul Seribu Wajah Perempuan Indonesia di Kancah Revolusi 1945, karya Irna H.N. Hadi Soewito. Ribuan pejuang itu tidak dapat ditemukan rekam jejaknya di pencarian internet. Kisah mereka laksana kabut malam yang pekat.
Sebutlah Dewi Rohimah, seorang laskar dari LASWI yang hadir pada kancah pertempuran Bandung Lautan Api. Bersama puluhan rekannya, ia terlibat dalam clash di sekitar perbatasan kota Bandung. Mereka tak gentar dalam menghadapi Belanda yang menginginkan kekuasaannya kembali di Indonesia.
Siasat pengosongan Kota Bandung menjadi alternatif terakhirnya tatkala sudah tidak mampu bertahan dalam gempuran musuh. Bumi hangus harus terus dilaksanakan, penghancuran kota menjadi target utama LASWI bersama pasukan TNI bersama laskar lainnya.
Disela pertempuran dan pengungsian, tak sedikit para perempuan menjadi korban. Terlebih ketika terdapat diantara mereka yang tengah hamil tua. Persalinan seadanya juga seringkali terjadi, walau hanya berbekal kulit bambu runcing untuk memotong ari-ari si bayi.
Dewi sering dipanggil sebagai Willy, karena suka berpenampilan layaknya lelaki. Hal ini dilakukannya agar selalu diterima ketika bertemu dengan pejuang lainnya. Â Persoalan bertempur ia jagonya, dan sudah diakui kehebatannya secara langsung oleh para pejuang lainnya.
Membawa Pulang Kepala Prajurit Gurkha
Dewi mempunyai banyak nama samaran selama bertempur, Willy dan Karmilla atau Miss Karmilla Dewi. Nama Miss Karmilla ia pergunakan dalam suatu siasat penyergapan pasukan Belanda di sekitar Bandung. Kulitnya yang sawo matang, membuatnya tidak dicurigai oleh patroli Belanda tersebut.
Seketika ia menembaki pasukan patroli Belanda ketika mereka lengah, hingga seorang prajurit Gurkha ia penggal kepalanya dihadapan para laskar yang membantu dalam penyergapan tersebut. Membuat siapapun bergidik melihat nyali perempuan pejuang ini.
Kemarahannya terhadap Belanda sudah memuncak kala itu. Karena ribuan pengungsi telah dibantai tanpa ampun oleh Belanda. Aksi serupa ini dilakukan oleh Susilowati, ia bahkan meletakkan kepala seorang Gurkha di meja kerja Nasution.
Prajurit Gurkha terkenal karena kekejamannya dalam setiap pertempuran di seluruh palagan Indonesia. Tidak hanya di Bandung, di Semarang pada Pertempuran Lima Hari Lima Malam hingga Surabaya Affair, peristiwa semacam ini seringkali terjadi.
Tentu bukan tanpa alasan, peristiwa diluar nalar kemanusiaan itu terjadi dikedua belah pihak. Ribuan anak kecil dan ratusan perempuan yang tengah hamil, harus menangung pahitnya hidup pada masa revolusi fisik.
Bandung telah dikosongkan, dan para pasukan TNI beserta laskar mau tidak mau harus keluar dari Jawa Barat untuk menuju ke Jawa Tengah. Sebuah persitiwa hijrah yang ikonik dalam panggung sejarah Indonesia.
Diantara Persimpangan Sejarah
Diakhir peristiwa hijrah di Jawa Tengah, Dewi Rohimah yang tengah terluka sempat dirawat disebuah tangsi militer sekitar kota Klaten. Pada waktu yang nyaris bersamaan Belanda berhasil menguasi Klaten dalam rangkaian agresi milternya terhadap wilayah Indonesia.
Ia nyaris tertangkap, atas suatu insiden di tangsi militer, Dewi Rohimah kemudian berhasil melarikan diri. Dalam pelariannya ia mendadak sakit dan harus dilarikan ke Rumah Sakit Tegalyoso, Klaten.
Pada suatu pemeriksaan di Tegalyoso inilah ia lagi-lagi selamat. Pasukan Belanda yang memburunya tidak dapat menemukan identitasnya karena bangsal yang ditempati Dewi adalah ruang untuk khusus wanita. Willy tetap dianggap sebagai sosok laki-laki pejuang.
Perjuangannya tentu membuat siapapun heran, seorang perempuan yang begitu berani dan rela mati untuk mempertahankan kemerdekaan bangsanya. Deskripsi mengenai sejarah hidupnya nyaris nilih ditemukan diberbagai referensi kesejarahan.
Para perempuan-perempuan pejuang itu saat ini tengah berada dipersimpangan sejarah bangsanya sendiri. Nama mereka nyaris hilang ditelan masa. Karena role model pejuang perempuan hanya diabstraksikan semacam Dewi Sartika hingga Kartini saja. Semoga bermanfaat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H