Mohon tunggu...
Hendra Fokker
Hendra Fokker Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Sosial

Buruh Kognitif yang suka jalan-jalan sambil mendongeng tentang sejarah dan budaya untuk anak-anak di jalanan dan pedalaman. Itu Saja.

Selanjutnya

Tutup

Nature

Perjuangan Samin Surosentiko Menentang Eksploitasi Alam

14 Juli 2021   07:10 Diperbarui: 14 Juli 2021   07:34 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu khalayak Indonesia ramai memperbincangkan film dokumenter Samin vs Semen. Dokumenter yang menceritakan perjuangan masyarakat Samin dalam menentang berdirinya pabrik semen di lingkungan tempat tinggal mereka.

Masyarakat Samin merupakan suatu kelompok masyarakat adat yang mendiami wilayah di sekitar Blora, Jawa Tengah. Mereka sangat memegang teguh tradisi dan adat yang pernah dikembangkan oleh Samin Surosentiko.

Pegunungan Kendeng, tempat masyarakat Samin bermukin dianggap sebagai area non-produktif yang hanya dapat dikembangkan guna urusan eksplorasi sumber daya alam. Dalam hal ini adalah karst yang menjadi bahan utama pembuatan semen.

Walau pendapat itu ditentang oleh banyak pihak, karena bukti-bukti yang berkaitan dengan kekayaan alam Pegunungan Kendeng justru memungkinkan keberadaan flora dan fauna dapat  berkembang secara alami. Belum lagi sumber-sumber air yang melimpah dan menjadi sumber penghidupan bagi masyarakat Kendeng.

Sudah tentu upaya perusakan lingkungan atas dalih apapun ditentang oleh masyarakat Kendeng di Blora, yang mayoritas adalah masyarakat Samin. Semangat perlawanan menentang perusakan alam ini apabila ditinjau secara historis, merupakan bagian dari ajaran Saminisme yang berkembang disana.

Pantang bagi orang Samin untuk berdagang dan mengambil hak orang lain. Oleh karena hal inilah Samin Surosentiko menentang adanya kapitalisme dalam bentuk apapun. Terlebih soal eksplorasi berbau kapitalisme yang dapat merusak alam.

Mbah Suro menentang Belanda

Pada awalnya Belanda tidak melarang Samin Surosentiko mengembangkan ajarannya. Sikap teguhnya dalam menjaga alam dianggap bukan sebagai ancaman yang patut dicemaskan. Alam dianggap sebagai ibu yang harus dijaga kelestariannya. Tidak boleh merusak, apalagi membiarkannya dirusak.

Mbah Suro adalah panggilan resmi Samin Surosentiko oleh pengikutnya. Tatkala ia mengajarkan perilaku Sedulur Sikep, maka bangkitlah semangat perlawanan pengikutnya terhadap Belanda. Semangat perlawanan ini yang kala itu ditakutkan oleh para kolonialis, terlebih membawa unsur budaya etnik.

Sedulur memiliki arti saudara, dan Sikep yang memiliki arti senjata. Sesuai maknanya, maka perlawanan tanpa senjata tengah dikobarkan terhadap Belanda. Persoalan yang utama adalah perihal pajak. Pengikut Samin mulai menolak membayar pajak yang dibebankan kepada mereka atas dasar hak.

Semangat perlawanan dalam menentang pajak yang membebani rakyat serta eksploitasi alam oleh Belanda, ternyata membuat pengikut Samin semakin besar dalam kuantitas. Mbah Suro disebut-sebut tengah menghasut rakyat untuk melancarkan pemberontakan. Melihat hal ini, tentu saja penguasa kolonial tidak tinggal diam.

Tak perlu menunggu lama, Mbah Suro pun ditangkap tanpa perlawanan oleh Belanda pada 18 Desember 1907. Ia kemudian diasingkan ke Sumatera Barat, hingga meninggal pada tahun 1914 disana.

Perjuangan Mbah Suro Lestari di Kendeng

Melawan tanpa senjata, mengingatkan kita pada metode perjuangan Satyagraha yang dikembangkan oleh Mahatma Gandhi pada abad 20. Tetapi Indonesia punya Mbah Suro, yang terlebih dahulu mengobarkan perlawanan tanpa senjata terhadap kolonialis Belanda.

Konsep hidup menghormati alam beserta kekayaan yang terkandung didalamnya, membuat masyarakat Samin dianggap sebagai suku yang terbelakang dalam modernisasi ketika itu. Walau pada masa kini, moderniasi perlahan dapat bersatu dengan perilaku kehidupan mereka tatkala dibutuhkan dalam urusan pertanian.

Perjuangan Mbah Suro tentu telah melewati batas-batas ruang dan waktu sejarah yang beragam. Sikap rendah diri dan toleran yang dimiliki oleh penganut Sedulur Sikep, telah membawa mereka menjadi sebuah masyarakat pendobrak penganut individualisme di era modern saat ini.

Masyarakat Samin, tentu sudah sangat dikenal dunia kini. Perjuangannya menjaga alam Kendeng agar tetap lestari telah mendapatkan apresiasi berskala internasional. Tinggal bagaimana generasi muda saat ini mampu mengikuti semangat mereka untuk dapat terus menjaga alamnya.

Kalau bukan kita yang menjaga bumi, lantas siapa? “Ibu bumi wis maringi. Ibu bumi dilarani. Ibu bumi kang ngadili”, merupakan ungkapan perjuangan Gunretno yang acap kali digelorakan ketika memperjuangkan kelestarian alam. Gunretno merupakan wujud dari perjuangan Mbah Suro saat ini.

Semoga Kendeng dapat terus lestari, untuk generasi saat ini ataupun nanti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun