Lahat tak bertanda masih dapat ditemukan di sebuah pemakaman keluarga di Indrapuri, Aceh Besar. Â Makam itu menguburkan sosok yang tak tercatat dalam sejarah. Orang-orang tua setempat, yang kini kebanyakan telah berpulang, menceritakan bahwa yang terbaring di lahat tersebut bernama Nek Bayeun.
Syarifah Hairawati, kini berusia 75 tahun, adalah keturunan Nek Bayeun yang masih dapat menceritakan soal sosok leluhurnya tersebut. Walaupun berusia sedemikian lanjut, namun Umi, panggilan Hairawati, masih dapat menceritakan segala sesuatunya dengan gamblang dan jelas. Fisiknya tak seperti perempuan seusia tersebut.
"Saya masih rutin bersepeda selama dua jam setiap hari," terangnya.
Umi lalu mengenang sosok nenek buyutnya tersebut sebagai orang yang berparas cantik.
"Saya sempat melihatnya pada masa kecil saya," aku Umi. "Saya ingat dulu suka dikeloni saat hendak tidur malam."
Mungkin karena parasnya itu, oleh karenanya Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah, yang saat itu hijrah ke Indrapuri karena agresi Belanda, menikahi perempuan ini. Daudsyah sendiri berdasarkan catatan, memiliki empat orang istri, pertama Teungku Putroe Gamba Gading, Pocut Dimurong, Teungku Jam Manikam dan --ketika diasingkan Belanda ke Batavia pada 1918, ia menikah lagi dengan seorang perempuan bernama-- Neng Effie sebagai istri keempat.
Hubungan Daudsyah dengan Indrapuri sangat erat. Daudsyah ditabalkan di Masjid Tuha Indrapuri pada tahun 1878, dan kemudian berpindah lagi ke Keumala sekitar tahun 1881 seiring dengan bala bantuan Pidie membantu Aceh Besar, pimpinan Tgk. Chik Di Tiro. Tahun hijrah Daudsyah ke Pidie saya peroleh dari pengakuan Pocut Meurah Awan, permaisuri sultan Mahmudsyah yang mengaku bertemu Di Tiro saat menuju Pidie. Awan menulis 'memo' kepada Tiro memberikan dukungan. Memo tersebut masih dapat dilihat hingga saat ini.
Umi juga menunjukkan bahwa pertapakan rumah keluarga mereka merupakan bekas markas pasukan Tgk. Chik Di Tiro di Indrapuri. Di Tiro pun dimakamkan masih di wilayah kecamatan Indrapuri. Agak jauh ke Timur dari lokasi markas yang ditunjukkan Umi. Pertapakan itu sudah hilang sama sekali, menyisakan sebuah rumah panggung berpondasi kayu yang ditempati sepupunya. Terlihat ibu-ibu meninabobokkan anak dengan ayunan di bawah rumah panggung tersebut.
Usia pernikahannya tak lama, ia kemudian dicerai Sultan. Namun ia sempat memiliki seorang anak perempuan yang kemudian diberi nama Zainabah.Â
Zainabah sendiri kemudian dinikahi oleh Tjoet Ali, seorang pokrol (semacam kuasa hukum/pengacara) lulusan sekolah hukum di Bukit Tinggi. Salah satu kasus yang ditanganinya adalah memenangkan gugatan sengketa tanah yang kelak --setelah dilepas-jual oleh si pemenang kasus-- berdiri kantor Bulog di jalan Teungku Daud Beureueh, Banda Aceh. Mereka memiliki 6 orang anak. Salah satunya adalah Cut Sakdiah, ibunda kandung dari Umi.
==informasi lebih lanjut akan segera hadir dalam bentuk buku, bila anda memiliki informasi/data lebih lanjut tentang artikel inin silakan email ke hendrafahrizal@yahoo.com ==