Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Catatan Kejadian di Aceh Paska G30S

8 Oktober 2022   12:35 Diperbarui: 28 Januari 2023   14:08 227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemimpin PKI Aceh, Thaib Adamy. Repro dari buku Atjeh Mendakwa.


Thaib sendiri --setelah memastikan keselamatan keluarganya--, mencari perlindungan ke Takengon. Ia pergi ditemani Yasrun, 15 tahun, anak kedua dari 9 anak yang dimilikinya bersama perkawinannya dengan sang istri, Samiah. Namun, dalam perjalanan Thaib ditangkap di dalam bus oleh sejumlah pihak lalu diserahkan ke petugas keamanan. Menurut cerita Setiadi, anak Thaib Adamy, belakangan ia dibawa ke Banda Aceh dan dan dieksekusi tembak di Lhoknga. Informasi itu ia peroleh dari seorang tentara yang masih kolega keluarga mereka yang ikut dalam rombongan eksekutor. Menurut penuturan Rizki Yanuar, warga asli Lhoknga kepada saya, menurut cerita orang-orang tua di Lhoknga, eksekusi PKI di Aceh dilakukan pada malam hari secara terbuka. Warga setempat dikumpulkan untuk menyaksikan eksekusi para terduga PKI di Aceh, dan tempat eksekusinya di lakukan di pinggir laut Lhoknga, setelah itu mereka langsung dikubur di tempat tersebut. Tapi tentu saja cerita itu tak spesifik merujuk pada eksekusi Adamy.

Sementara nasib Yasrun yang menyertai Adamy tidak diketahui hingga kini.

Selepas itu, menyadari jejak persembunyian di Idi tercium massa, Samiah memboyong anak-anaknya ke Medan. Namun, disana ia juga terendus aparat. Ia lalu diciduk dengan tuduhan anggota Gerwani. Ia ditahan tanpa proses pengadilan dan baru dilepaskan pada tahun 1977.


Para kader dan orang yang terafilisasi PKI di Aceh yang sempat bersembunyi sebagian muncul kembali dan meminta perlindungan pemerintah. Mereka tidak tahan terus diuber oleh massa yang terprovokasi. Pada awalnya, orang yang meminta perlindungan berjumlah 55 orang, kemudian dikumpulkan di rumah tahanan militer Pomdam-I. Jumlah orang yang meminta perlindungan berkali lipat jumlahnya di kemudian hari, tidak termasuk dengan yang tertangkap. Jess Melvin, dalam buku The Army and the Indonesian Genocide (2018) menyebutkan hanya ada 1 orang kader PKI di Aceh yang berada dalam struktur kepengurusan partai yang tidak kehilangan nyawanya. Jess memperkirakan ada 3.000-10.000 orang tewas di Aceh dalam kejadian ini. Sementara versi militer, total orang komunis yang terbunuh atau hilang di Aceh sekitar 1.941 jiwa. Target yang menjadi sasaran pembunuhan adalah mereka yang tergolong dalam klasifikasi A, yaitu kader PKI. Sementara klasifikasi B adalah anggota organisasi yang terafiliasi PKI. Klasifikasi C adalah anggota keluarga kader PKI dan anggota keluarga orang yang bergabung dengan organisasi terafiliasi PKI. Sementara klasfikasi D adalah teman, kerabat, orang-orang tertentu di komunitas/kampung kader PKI, serta warga keturunan Tionghoa. Bagi yang tidak terbunuh, maka ia beruntung karena hanya masuk dalam klasifikasi B, C, dan D sebagai kelompok yang tidak terlalu berbahaya dan hanya masuk kamp penahanan, lalu dibebaskan setelah bertahun-tahun diisolasi. Namun kelak mereka tetap mendapat dampak diskriminasi yang sistematis.


Pada 8 Oktober, kerusuhan berlanjut. Salah satu sasaran massa dari partai politik dan ormas adalah kantor dan rumah pimpinan Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), sebuah ormas yang banyak beranggotakan warga keturunan Tionghoa. Rumah Samidikin, Sekretaris Pertama Komite Aceh PKI juga jadi sasaran pada hari tersebut. Buku dan mesin tik yang ditemukan dirumahnya dibakar. Unjuk rasa juga meluas ke kota Meulaboh.


Pada malam hari, sekitar jam 20.00 WIB, bertempat di Masjid Raya Baiturrahman, dilaksanakan rapat akbar. Dihadiri sekitar 10 ribu orang yang diisi orasi rinci tentang apa yang sebenarnya terjadi pada 30 September di Jakarta dan hal-hal lain yang berhubungan tentang peristiwa tersebut.


Tanggal 9 Oktober, pengrusakan oleh massa merambat hingga ke Sinabang. Sasarannya adalah kantor Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) dengan dampak pembakaran. Jam 6 pagi, di Meulaboh, ditemukan jenazah anggota Pemuda Rakjat, sayap pemuda PKI, di dalam sebuah selokan. Di Sigli, terjadi pengrusakan beberapa toko milik keturunan Tionghoa. Para kader PKI di Sigli menyingkir ke Kota Bakti. Di Banda Aceh, diselingi beberapa kejadian evakuasi anggota keluarga kader PKI yang meminta perlindungan, aparat juga mengamankan Samidikin dan A. Rauf yang datang secara sukarela meminta perlindungan aparat. Aparat militer dan polisi juga memberikan penerangan kepada masyarakat agar menjaga ketertiban dan tidak dibenarkan lagi mengadakan aksi unjuk rasa. Jam malam diberlakukan.


Pada hari-hari berikutnya, hingga pertengahan Desember, unjuk rasa meluas hampir ke seluruh wilayah Aceh. Penculikan, pemberhentian pegawai pemerintah, penangkapan, penganiayaan, perampasan dan penemuan mayat yang diduga kader PKI atau terafiliasi PKI mulai menjadi berita yang kerap didengar.


Sebagian yang "memenuhi syarat" dan lolos dari pembunuhan, kembali disumpah oleh ulama untuk kembali ke jalan yang benar dan melepaskan diri dari partai beserta ideologi sesat yang melekat. Pada 6 Desember Penguasa Pelaksana Dwikora Daerah (Pepelrada) mengadakan indoktrinisasi kepada para WNI keturunan Tionghoa yang dihadiri sekitar 700 orang bertempat di bioskop Merpati Peunayong.


Keadaan yang terjadi hari per hari ini memperburuk keadaan ekonomi yang memang sudah teruk sebelum meletusnya peristiwa ini. Secara umum, kondisi ini mengkhawatirkan pihak militer akan menimbulkan masalah sosial baru yakni meningkatnya jumlah pengangguran beserta dampak psikologisnya. Oleh karena itu, Pepelrada bahkan mengeluarkan keputusan melarang para pedagang dan pengusaha menghentikan pelayanan usahanya, menimbun barang dan menaikkan harga dari HET berlaku atau akan ditindak dengan jerat pasal subversif.


Lalu, pada akhirnya, 19 Desember 1965, malam hari, di halaman Mesjid Raya Baiturrahman, diadakan rapat akbar dan mengambil keputusan membubarkan PKI dan ormasnya dan PKI dinyatakan sebagai partai terlarang. Peristiwa ini menjadi titik landai tragedi kekerasan dan pembunuhan yang terjadi di bumi Aceh sepanjang triwulan akhir tahun tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun