Pada tanggal 1 Oktober, informasi adanya gerakan coup (kudeta) oleh Letkol Untung, telah diterima oleh militer di Aceh. Militer menuding bahwa setelah tersiarnya berita RRI, yang waktu itu dikuasai oleh pasukan Letkol Untung, PKI dan Ormasnya di Aceh segera melakukan pernyataan mendukung gerakan tersebut dan berupaya membentuk dewan revolusi di tingkat daerah dan mempengaruhi partai-partai lain yang dapat diajak bekerjasama untuk mendukungnya. Dalam wawancara dengan BBC Indonesia yang dirilis pada awal tahun 2022, Setiadi, salah seorang anak Thaib Adamy, membantahnya. Ia mengakui mendapati ayahnya terheran-heran kala mendengar siaran stasiun radio bahwa Gerakan 30 September menyeret PKI.
Tidak ada kejadian berarti dalam beberapa hari pertama setelah peristiwa itu, di Aceh. Dalam The Army and the Indonesian Genocide (2018) yang disusun oleh peneliti sejarah dari Australia, Jess Melvin, mengutip sebuah pengakuan dari Asan, seorang pentolan PKI di Aceh yang diwawancarainya pada 2011. Pada hari pertama setelah mendengar kabar tersebut dari stasiun radio, Asan berjalan keluar rumah dan melihat bahwa tidak ada efek berarti dari siaran radio tersebut. Semua kegiatan berjalan normal.
Masih berdasarkan hasil penelitian Melvin, sore hari, ketika Adamy tiba di Banda Aceh dari kota Medan selepas menemani kunjungan Soebandrio dan Njoto, mereka bertemu di kantor PKI di kawasan Neusu menjelang senja. Lalu, menggunakan sepeda, mereka menuju kantor Front Nasional --sebuah organisasi massa bentukan negara-- dimana mereka berharap mendapatkan pemahaman yang baik mengenai apa yang terjadi di Jakarta. Namun, kantor tersebut kosong dan mereka memutuskan berpisah kembali ke rumah masing-masing. Di titik ini, Asan berpendapat, Adamy sendiri dihadapkan pada kebingungan tentang apa yang terjadi saat itu, sehingga mustahil mengetahui dan atau bahkan mempersiapkan gerakan tersebut. Namun, Rusdi Sufi dalam bukunya Krisis Nasional dan Masa Peralihan Aceh (1965-1967) menyebutkan bahwa Adamy, yang jago berorasi, telah memulai aksinya di Aceh jauh sebelum peristiwa pembunuhan jenderal itu terjadi. Dalam setiap rapat umum, Thaib kerap berpidato menjelekkan pemerintah. Sehingga, ketika peristiwa Gerakan 30 September terjadi, maka rakyat dan pemerintah di Aceh menyadari bahwa isi pidato yang sebelumnya disampaikan oleh Adamy tersebut adalah rangkaian dari pra kondisi gerakan tersebut.
Pada 4 Oktober, diadakan rapat di pendopo Gubernur Aceh yang dihadiri oleh 5 pimpinan daerah (disebut Panca Tunggal) untuk menentukan sikap dan menentukan status keadaan paska peristiwa 30 September.
Tanggal 6 Oktober, dilakukan rapat lintas partai politik yang mengutuk peristiwa 30 September dan menuntut dibubarkannya PKI dan ormasnya. Pada hari yang sama di Banda Aceh, sore hari, terjadi aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh kader PNI dan ormasnya, menuntut dibubarkannya PKI. Mereka berkeliling kota Banda Aceh dan mencabut segala atribut PKI yang terpasang dan membakarnya.
Kemarahan massa boleh disebut memuncak pada 7 Oktober. Ulf Sundhaussen dalam studinya The Road to Power (1982), menyebutkan, pemicunya adalah ketika rakyat Aceh mendengar rumor bahwa pihak komunis membalas dendam dengan menyerbu serta membunuh warga Aceh yang berada di asrama Tjut Njak Dien, Jogjakarta. Hal ini membuat masyarakat menabuh gong jihad (perang suci) untuk membumihanguskan paham komunis di Aceh.
Pada tanggal tersebut mahasiswa juga mulai menyatakan sikap. Sekitar 200 orang berunjuk rasa di Darussalam, mengutuk peristiwa 30 September dan menuntut rektor membubarkan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) yang terafiliasi PKI serta mendesak rektor mencoret nama-nama mahasiswa yang menjadi anggota CGMI. Rektor Universitas Syiah Kuala kala itu, A Madjid Ibrahim, memenuhi tuntutan pembubaran CGMI.
Pada pukul 10 pagi di hari yang sama, rumah pimpinan PKI Aceh, Thaib Adamy, yang berada di kompleks PJKA, digerebek. Berdasarkan laporan militer, ditemukan dokumen, granat tangan dalam keadaan berkarat, peluru dan selongsong peluru. Dalam bagian lain, ditemukan sejumlah tanda-tanda pangkat yang menyerupai tanda pangkat TNI dalam keadaan setengah jadi. Pada peristiwa ini, Yusni, anak sulung Thaib yang mencoba mempertahankan properti milik keluarganya yang dijarah, diculik dan lalu menghilang, diduga dibunuh. Cerita penemuan granat dan senjata api ini dibantah oleh Setiadi.
Sore harinya, massa dari beberapa partai politik dan organisasi seperti PSII, Perti, NU, GMNI dan HMI mengelilingi kota dan kemudian menuju Neusu membongkar rumah Tjut Husein seorang pengurus PKI. Sasaran lain adalah rumah milik Sumbowo yang juga dibongkar dan dibakar. Sebagian diselamatkan karena dicegah oleh aparat keamanan.
Aksi corat-coret spanduk juga terjadi, yang dominan berbunyi, "Bubarkan PKI dan antek-anteknya", "Hukum mati gembong PKI Aceh; Samadikin, Thaib Adamy, Anas, dan lain-lain"," Ganyang Soebandrio antek PKI", dan "Ganyang PKI anti Tuhan."
Para pengurus PKI Aceh dan kadernya sejak 7 Oktober mulai berangsur meninggalkan kota Banda Aceh. Seperti Thaib Adamy yang menuju kampung halamannya di Idi, Aceh Timur dan menitipkan keluarganya disana.
Belakangan, Thaib Adamy dipecat dari tugas dan jabatannya sebagai anggota DPRD Gotong Royong Tingkat I (Provinsi). Demikian pula beberapa nama lain yang diketahui sebagai petinggi PKI Aceh, yaitu Annas HC diberhentikan sebagai anggota Badan Pemerintah Harian (BPH) Tingkat I. Mohammad Samidikin, diberhentikan sebagai anggota Front Nasional Tingkat I dan M. Sjukur diberhentikan dari jabatan Kepala Dinas Kehutanan Tingkat I.