Mohon tunggu...
Hendra Fahrizal
Hendra Fahrizal Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Certified Filmmaker and Script Writer.

Hendra Fahrizal, berdomisli di Banda Aceh. IG : @hendra_fahrizal Email : hendrafahrizal@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

Kado Awal Tahun Pariwisata Aceh

5 Januari 2019   23:02 Diperbarui: 6 Januari 2019   20:18 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Aceh dapat kado spesial tahun baru ini. BPS menyebut bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara turun 17 persen pada tahun 2018. Ini begitu menyentuh seperti mendengarkan lagu Gelas-gelas Kacanya Nia Daniati. Betapa tidak. Karena, seharusnya, dengan semakin meningkatnya jumlah manusia, jumlah konsumsi terhadap sesuatu, akan cenderung meningkat dengan sendirinya. Konsumsi di bidang pariwisata termasuk salah satunya.

Mencatat statistik kedatangan luar negeri dianggap BPS sebagai cara paling ideal dalam mengukur jumlah kunjungan wisatawan. Ini masuk akal. Dikarenakan jumlah kunjungan pelancong domestik sulit untuk diukur. Bisa saja kedatangan mereka di Aceh didominasi dalam rangka tugas kerja atau mengunjungi relasi. Saya merasa yakin, jika wisatawan mancanegara menurun, maka statistik turis domestik akan mengalami hal serupa. Melihat angka penurunan ini, tentu bikin miris. Wisatawan Malaysia misalnya, termasuk golongan wisatawan mancanegara dan menjadi ceruk utama target wisman kita. Bila kita melihat giatnya kunjungan wisatawan serumpun ini yang sampai “memaksa” Air Asia menambah jadwal penerbangan ke Banda Aceh hingga 3 kali dalam sehari, seharusnya total wisatawan mancanegara dapat terkerek naik. Ini kok malah sebaliknya.

Penobatan World's Best Airport for Halal Travellers bagi bandara Sultan Iskandar Muda atau masuk dalam beberapa nominasi Best Halal Tourism --sebagaimana sudah saya duga-- tak akan mampu meningkatkan tingkat kunjungan. Penghargaan itu akhirnya hanya sebatas untuk keren-kerenan saja. Tidak mendongkrak angka. Karena, yaaaah, cara memperolehnya pun dari voting. Subjektif. Pada akhirnya, key performance indicator (KPI) adalah acuan seharusnya dari stakeholder Aceh membangun pariwisata. KPI yang dimaksud disini adalah angka.

Siapa yang patut disalahkan soal ini? Bisa ditebak semua telunjuk akan mengarah pada Disbupdar Aceh. Tidak salah memang. Tapi harus diingat, Disbudpar bukan satu-satunya instansi yang patut dikambinghitamkan. Pemerintah Aceh, Pemko/pemkab yang wilayahnya dikunjungi, BPKS (khusus Sabang), hingga Dishub, punya andil terhadap kegagalan ini. Ini menurut pandangan saya.

Pertama, kita mulai dengan Pemerintah Aceh. Pemerintah Aceh, --setidaknya-- sepeninggal Irwandi, sepertinya tak begitu visioner soal pariwisata. Tidak terlihat adanya niat untuk membranding Aceh secara nyata. Mereka tak memiliki determinasi dalam mempertahankan beberapa even internasional yang nyata-nyata efektif guna “memperlihatkan” Aceh yang sebenarnya, yang akhirnya berpeluang menghidupkan mata rantai promosi wisata kita. Lihatlah, bagaimana Sabang International Marathon akhirnya dicoret dari agenda Dispora tahun 2019. Ada pula beberapa agenda besar lain berupa event berskala internasional (yang saya lupa apa saja namanya), dicoret oleh dewan.

Sabang Marathon memang mendulang masalah, hingga gubernur Aceh harus terjerat kasus hukum. Orangnya --boleh jadi-- salah, namun tidak perhelatannya. The show must go on, karena --sebagaimana yang dialasankan oleh Irwandi-- Aceh memang harus diperkenalkan kepada dunia. Aceh harus diperlihatkan sebagai daerah yang aman. Kita harus buka mata, begitu banyak diluar sana yang ogah ke Aceh untuk berlibur karena mereka menganggap separatisme di Aceh masih belum pulih benar, sebagaimana Papua. Sehingga, harus ada strategi, untuk membuat orang untuk hadir ke Aceh, melihat Aceh, lalu kemudian dibawah alam sadarnya menjadi duta untuk memberitakan Aceh secara positif ke dunia luas. Mouth to mouth promotion is the best promotion, itu kata pemasar jadul era Soneta Band. Marathon adalah sebuah cara jitu untuk mendatangkan banyak orang Aceh. Dan biarkan ajakan dari mulut orang lain berperan. Video ini adalah salah satu contoh yang sangat menggugah dan penuh agitasi. (https://www.youtube.com/watch?v=N3uLnCYy080). Sekarang, bayangkan, ribuan orang sudah mendaftar, lalu acara marathon itu dibatalkan. Alih-alih menganggap hanya pelaksana yang mengalami kerugian, justru sebenarnya justru seluruh 4,5 juta rakyat Aceh menanggung rugi, karena nama Aceh sangat tercoreng. Membuat acara tapi tidak jadi. Orang akan sulit percaya lagi dan ketidakpercayaan itu bisa jadi akan pulih lama. Saya sangat menyayangkan itu.

Anggota dewan mengatakan bahwa lebih baik dana dialihkan untuk membangun rumah dhuafa. “Yaelah ni bocah. Bukankah semua dana APBA yang 17 trilyun sudah ada peruntukannya kan yak,” itu kata Mpok Alpa. Penganggaran rumah dhuafa sudah ada dan sudah dikelola oleh dinas terkait. Kesehatan dan pendidikan juga demikian. Lingkungan dan kebersihan kota juga diperhatikan. 17 trilyun sudah dipecah untuk segala keperluan dan hajat hidup masyarakat Aceh. Proporsi pembagiannya juga sudah diatur sedemikian rupa. Ada banyak pengeluaran yang seharusnya tidak ada lagi pada 2019 namun tetap dipertahankan karena dianggap Aceh memiliki dana cukup, seperti, saat qanun retribusi yang mewajibkan Trans Kutaradja mengutip tarif penumpang pada 2019, akhirnya dibatalkan plt Gubernur. “Tidak perlu, anggaran kita cukup,” kata Nova Iriansyah. Kemen-PUPR juga telah menganggarkan 2.005 rumah bantuan untuk dhuafa tahun ini. Artinya, anggaran sudah ada dan telah pada pos-nya.

Mungkin mereka lupa, bahwa, sepanjang sebuah ‘hal’ sampai dikelola oleh sebuah instansi setingkat dinas, ya berarti ‘hal’ itu penting. Kalau tidak penting, untuk apa ada lembaganya, kan begitu toh pemikiran kita seharusnya. Misalnya nih, kolor. Kolor itu ranah privasi yang tak perlu diurus oleh dinas. Jadi karena itu sampai sekarang tidak ada tuh ‘Dinas Perkoloran dan Pengayomannya Dalam Keseharian’. Nah, jadi kalau ada yang namanya Dinas Pariwisata, berarti pariwisata itu penting. Kalau ada Dinas Perkebunan, berarti mengurus dan mengendalikan sektor perkebunan itu penting. “Coba sedikit kau renungkanlah itu sambil berak besok pagi,” kata Ucok setengah berteriak sambil minum tuak.

Itu belum bicara pariwisata dalam aspek jangka panjang. Ketika dana otsus habis 10 tahun lagi, apa kira-kira yang dapat diandalkan oleh sebagian wilayah Aceh yang minim sumber daya alam dan bukan kota pemerintahan dan pendidikan, seperti Sabang misalnya? Ya tentu saja pariwisata.

Jadi, buang pikiran itu jauh-jauh, Vanessa Angel.

Kedua, instansi lain juga bertanggungjawab karena memiliki peran terhadap statistik negatif ini. Baik itu Dishub, dalam hal ini yang menaungi ASDP, yang sampai sekarang tidak mampu membereskan karut-marut penyeberangan Ulee Lheue - Balohan saat peak season, dimana saya masih juga menerima kirimin video WA tentang calon penumpang memaki-maki petugas karena loket yang hanya buka 5 menit lalu karcis dinyatakan habis. Kemudian Pemko Sabang dan BPKS tentu memiliki andil terhadap penurunan ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun