Kalo bagi saya, melihat dari skala prioritas, kebutuhan helikopter pesawat lebih darurat dibanding dengan Istana Wali Nanggroe, yang belakangan hanya menjadi jabatan politis dibanding niat awal.
Nah, sekarang berapa harganya? Ini yang menarik dan jadi poin judul tulisan ini. Harga sebuah helikopter Robinson R-44 yang adalah 5 miliar rupiah. Sebenarnya ada yang lebih murah, tetapi besar helikopter muat untuk orang sakit yang pastinya berbaring. Nah sekarang, bandingkan 5 miliar dengan 100 miliar.
Dengan 100 miliar, kita bisa membeli 20 helikopter, bisa untuk 20 dari 23 kabupaten kota se-Aceh. Ya tidaklah semua. Banda Aceh dan Aceh Besar tentu tak perlu. Mungkin bisa dikerucutkan sampai 10 daerah dengan penjelajahan terberat dan paling lama saja sudah cukup, untuk daerah-daerah yang memang sulit dijangkau, semisal baru terjangkau dalam waktu lebih dari 3 jam. Sisanya bisa dipakai untuk pendukung yang lain.
Nah, bila sudah dibandingkan seperti itu, seperti teori logosnya Plato, uang 100 miliar itu kebanyakan tidak untuk seorang Wali Nanggroe yang jabatannya itu sebenarnya hanya mengambil alih fungsi MAA yang sudah lebih dulu? Darurat tidak? Penting amat tidak untuk orang Aceh? Bisa bikin menyelematkan nyawa orang Aceh tidak? Bisa bikin orang Aceh bahagia tidak? Atau apakah Wali Nanggroe bisa Aceh bikin masuk CNN kala diberitakan sebagai provinsi pertama yang punya helikopter ambulans dan gubernurnya dipuja sana-sini? Wali Nanggroe bisa begitu tidak? Nah, sekarang 100 milyar itu kebanyakan tidak?
Nah, sekarang kembali ke renovasi masjid raya. Nilainya 500 miliar, setengah triliun. Coba bandingkan lagi dengan teori logos. APBA 12 trilyun, itu sudah jatah untuk seluruh Aceh, untuk 5 juta rakyatnya, untuk seluruh aspek pembangunannya, kesehatan, pendidikan, ekonomi, kesejahteraan, juga untuk ribuan mesjid lainnya di Aceh yang juga memerlukan perbaikan komprehensif. Bayangkan hampir 5 persen jatah seluruh rakyatnya itu diperuntukkan pada satu hal semata. Mengganggu aspek yang lain tidak? Pasti mengganggu, walau tak diakui.
Durhaka karena menghalangi memakmurkan masjid kebanggaan rakyat Aceh?Â
Tentu tidak. Kemakmuran mesjid bukan itu ukurannya. Rehab masjid raya pasti tetap diperlukan. Itu keniscayaan. Tapi dengan nilai tidak sebesar itu dengan perbandingan APBA yang sangat rapat. Kecuali memperoleh dana hibah, sebagaimana mesjid Agung Al Makmur Lamprit (yang saya kenal sebagai mesjid pertama di Aceh yang toiletnya tidak sengak, mengalahkan kakaknya, yang malah itu tidak membebani anggaran daerah) karena dibantu pemerintah Oman. Nah, itu baru cadas.
Payung? Secara fungsi tidak perlu dan tidak begitu bermanfaat. Kecuali dari sisi estetika, keindahan, kebanggaan dan pamer, yang sekali lagi, itu masalah selera. Soal kemakmuran mesjid, lebih baik pengurus mesjid raya memikirkan bagaimana bisa seperti mesjid di Surabaya dan Jakarta yang telah memperoleh sertifkat ISO kepuasan pengunjung mesjid, bagaimana mereka menjaga toilet selalu bersih, tidak ada sandal hilang, dan jemaah terus meningkat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H