Sekarang mulai ribut-ribut lagi soal payung Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Bahkan seorang politikus menyebut bahwa sejak awal ia tidak setuju dengan membuat payung masjid raya (tentu saja dengan biaya pembangunan basement dan rehab di sana-sini).
Sebagian memang boleh saja tak setuju. Sebagian juga tentu senang karena melihat hasilnya. Ada yang senang melihat lantai baru halaman masjid raya laksana plaza, lebih terlihat modern, terlihat baru. Pengunjung bisa duduk-duduk tanpa alas karena lantainya bersih dan pengunjung tidak diperkenankan memakai alas kaki. Jadi bahkan anak-anak dibiarkan saja bermain berguling-guling disitu tanpa perlu dikhawatirkan kotor karena bersih. Tempat wudhunya juga, katanya sungguh mewah dan menjadikan mesjid ini lebih membanggakan.
Tapi ada pula yang tak senang karena menghilangkan keasriannya karena menghilangkan halaman rumput yang sebelumnya lebih dominan.Â
Saya berada di pihak mana? Tentu tak dimana-mana, karena itu masalah selera, selera mata, selera tak bisa dinilai, jadi saya tak mau menilai.
Tapi ada sesuatu yang ingin saya nilai, yaitu soal anggaran. Anggaran membangun mesjid raya itu adalah 500 miliar.
Besar? Tergantung juga sih. Bagi sebagian orang awam, 500 miliar tentu tak dapat dihitung tepat untuk nilai pembangunan mesjid itu karena ia bukan sarjana sipil. Tapi, bagaimana menghitung banyak tidaknya uang 500 miliar bagi orang awam, yaitu adalah dengan skala prioritas.
Plato, jauh-jauh hari sudah memperkenalkan ethos, pathos, logos. Pada logos, ia menuliskan bagaimana besarnya sebuah nilai bila kita melakukan perbandingan dengan hal lain bernilai sama, lalu dilihat nilai urgensinya.
Saya beri contoh. Sebelum ribut-ribut soal masjid raya. Media sempat menulis soal Istana Wali Nanggroe bernilai 100 miliar rupiah. Tapi, hanya sekadar menjadi pemberitaan. Di media sosial hampir tak ada yang mempermasalahkannya.
Kecuali saya.
Kepada teman-teman, saat berdiskusi tentang masalah kekinian di Aceh, saya memberi perbandingan. Alangkah tepatnya bila uang 100 miliar itu diperuntukkan menjadi fasilitas kesehatan yang permanen. Salah satunya, yang sangat saya harapkan ada di Aceh adalah, helikopter ambulans. Helikopter ambulans untuk mengangkut pasien rujukan dari daerah ke rumah sakit rujukan, yang biasanya pasti ke Banda Aceh. Helikopter ambulans bukan perkara baru. Di negara-negara Eropa sudah jauh-jauh hari ada. Hal itu penting, karena sampai sekarang, belum ada rumah sakit regional di Aceh yang bisa menandingi paripurnanya rumah sakit RSUDZA di Banda Aceh. Rumah sakit regional di Lhokseumawe, Takengon dan Meulaboh masih sebatas wacana. Itu butuh waktu lama. Jangka pendeknya, kita butuh helikopter.
Membawa orang sakit bukanlah seperti membawa orang pelesiran yang bisa sambil menikmati suasana pesisir Aceh yang indah. Membawa orang sakit itu butuh cepat. Kecepatan itu adalah masalah nyawa. Jadi bagi persepsi saya, pemangkasan waktu itu penting, sangat penting. Karena Banda Aceh, ibu kota provinsi, berada di posisi paling sudut dan ujung provinsi. Diperparah dengan kontur pegunungan di Seulawah, Geurutee, Paro, Kulu, jalan berkelok di Rawa Tripa, dan jalan maha mendaki di bukit barisan, pasien rujukan dari Singkil butuh 14 jam, Simeulue 12 jam via laut dan ditambah 9 jam via darat, atau Blangkejeuren, 15 jam untuk tiba di Banda Aceh. Bagaimana kondisi orang sakit di dalam ambulans tersebut? Kalau saya, mungkin sudah mati duluan sebelum tiba di Banda Aceh yang berada di sudut provinsi.