Mohon tunggu...
Hendra Anusapati
Hendra Anusapati Mohon Tunggu... Guru - Pujangga Hingga Menutup Mata

Menulislah Agar Dirimu Memiliki Sejarah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Reppeling: Ada Cerita dan Makna

15 Agustus 2021   12:53 Diperbarui: 15 Agustus 2021   13:02 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Embun pagi yang mengenangi dedaunan, tanaman sudut sekolah alam mulai bermekaran, sebentar lagi terang benderang seiring matahari menampakkan diri melalui bangunan bambu yang berjajar. Udara kian berhembus di pusat lapangan sekolah, burung-burung berkicau menemani kegiatan aktivitas pagi ini.

Terlihat beberapa ustad-ustadzah bersama siswa mungil melakukan gerakan-gerakan kecil. Ya, tak lain melakukan pemanasan (Senam) sebelum melakukan kegiatan. Hitungan 1 sampai 8 menjadi saksi bahwa semangat dalam hidup jangan pernah redup. Kini matahari tak lagi malu-malu menampakkan wajahnya, ia mengangkat pancarannya di wajah siswa-siswi Sekolah Alam Insan Cendekia.

Beberapa ustad mulai memberikan aba-aba, dengan suara halusnya nan wajah lembutnya siswa turut mendengarkannya. Barisan kaki lengkap dengan sepatu dan sandal gunungnya mereka berdiri tegap seolah-olah mereka siap mengikuti kegiatan selanjutnya.

Suasana itupun berlalu, mereka harus melakukan persiapan matang-matang lebih dulu baik dari segi makanan, minuman terutama mental karena kegiatan ini biasa dikatakan menguji keberanian. Siapa-siapa yang takut ketinggian niscaya ia merasakan deg-degan dan cemas yang tak berkesudahan, sebutlah kegiatan itu Rappeling (Turun Tebing), mendengarkan pun sudah gelisah apalagi melakukan.

Sepertinya wajah siswa sudah diombang-ambing ketakutan, barisan yang tegap kini berubah menjadi gagap. Mau tidak mau mereka harus mengikuti Rappeling sebagai tanda dirinya siswa sekolah alam. Pintu gerbang kini terbuka lebar, mereka harus berbentuk barisan meninggalkan sekolah alam. Sebotol air dan makanan tak luput pula mereka bawa sebagai bekal.

Jalan Brigpol Sudarlan segera akan dilalui, siswa masih tengah asik melangkahkan kaki bersama ustad yang turut ikut mendampingi, seiring suara kendaraan yang saling bersahut-sahutan, polusi bertebaran layaknya daun di musim gugur berjatuhan. Tepat pada penyebrangan antara sudut barat dan timur jalan kearah Jember, ustad menjadi tameng yang harus mengamankan siswa dari berbagai macam kendaraan melintas.

Selepas itu, mereka sudah berada di bundaran Nangkaan, sapaan dari pedagang tape sedikit memberikan kemanisan meskipun mereka masih menyimpan ketakutan yang berbentuk kepahitan. Mereka kembali melanjutkan perjalanan sambil memandang kantor-kantor yang berjajar di pinggir perkotaan.

Berkisar 18 menit sampailah mereka ke tempat tujuan, sawah dan perumahan menyambut kedatangan mereka dengan senyuman, Tapi ada satu hal yang menyedihkan yakni rel kereta api yang tidak terurus, jembatan semerawut dan kayunya terlihat kusut. Kini jalan besi  tua itu hanya menjadi hiasan dan pajangan bahwa tempat itu pernah membawa banyak penumpang, sekarang sudah tidak beroperasi, entah kapan rel kereta ini hidup kembali.

Siswa sudah berada di pinggir jembatan rel kereta api, mereka memandang ustad yang sedang sibuk menyiapkan tali pengaman, helm pengaman dan alat-alat pembantu yang lain. Sungguh ustad-ustadzah benar-benar meneliti segala peralatan yang digunakan termasuk webing yang diikat dipinggang siswa demi tanggung jawab dan keamanan. Sejauh mata memandang tebing yang memiliki ketinggian 20 M dari  arah bawah sungai, ada rasa kekhawatiran yang sangat begitu dalam, jantung berdetak kencang seolah-olah Harimau siap menerkam badan.

Suasana menjadi tegang, siswa, ustad dan ustadzah hati dan pikiran berperang kaki takut melangkah dan suasana menjadi gundah, 1 dan 2 siswa menyiapkan maju lebih awal  berjalan di atas rel berlapiskan bambu-bambu keriput dan kayu terlihat kusut, langkah kaki berhati-hati, menapakkan kaki harus benar-benar berada diposisi, salah melangkah badanpun bisa berbelah. Bismillah...Bismilllah...Bismillah....

Satu demi satu kini mulai membuktikan tantangannya, ketakutan harus dihilangkan, jika tidak maka ia akan menjadi bomerang saat melakukan, aba-aba terus disampaikan dari ustad dan ustadzah yang berpengalaman, badan ditidurkan, dorong dan tangan kanan buka lepaskan ya seperti itulah inti aba-aba yang terus berkumandang.

dokpri
dokpri

Siswa dan ustad-ustadzah turut meraimakan kegiatan Rappeling, melawan ketakutan berpacu dengan gerakan dan pikiran, pada akhirnya semua berada di bawah diiringi aliran sungai yang menenangkan. Ada rasa bahagia disetiap wajah siswa, senyum yang begitu lepas dan suara yang tak lagi terdengar gagap. Perlahan-lahan mereka kembali melangkahkan kaki di antara bukit ilalang sambil memegang tali yang dieratkan sebagai gemgaman tangan agar bisa sampai di atas. 

Tepat sinar matahari mulai berada di atas kepala, kegiatan Rappeling sudah usai dan siswa harus pulang ke sekolah alam dengan badan yang basah, itu pun tak menjadi masalah. Mereka kembali dengan penuh ceria, terlintas polusi udara turut mengganggunya. Sesampainya di pintu gerbang sekolah alam mereka bergegas ke kamar mandi, menenangkan badan sambil menyantap makanan, sesaat kemudian merekan harus menjalankan sholat dzuhur berjamaah meski badan terasa lelah tetap harus menjalankan perintah Allah.

Petikan nasihat di tengah sholat dzuhur  "Tidak ada yang namanya takut ketinggian yang ada takut jatuh" (dra)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun