Alhamdulillah,
baru tahun ini saya kesampaian berpuasa di bulan Ramadhan di tanah air,
tepatnya di Bandung kota kediaman mertua saya. Walaupun cuma berpuasa
di 10 hari pertama tapi kesannya begitu berbeda ketimbang berpuasa di Qatar.
Seperti
di bulan Ramadhan pada umumnya, aktivitas dimulai dengan makan sahur. Tidak
seperti di Qatar,
disini agak unik karena mulai sekitar jam tiga dinihari suasana sahur diisi
dengan acara televisi yang hingar bingar, mayoritas acara diisi oleh para
pelawak, kuis lewat telepon, joget-joget. Saling ejek diantara para pembawa
acara sudah menjadi hal yang biasa. Saya perhatikan, hanya dua stasiun televisi
yang menyiarkan program tausiah menjelang waktu sahur.
Menjelang
waktu Duha, waktu pagi hari suasana jalan di kota
Bandung agak
sepi terutama di minggu pertama bulan yang penuh berkah ini. Banyak restoran
dan toko makanan yang memilih tutup pada siang hari. Uniknya, dimulai pada hari
keempat atau kelima, mulai banyak restoran dan toko makanan yang kembali buka
di siang hari. Bahkan di beberapa sudut jalan mulai terlihat orang dengan tidak
sungkan makan, minum dan merokok. Pemandangan seperti ini tidak pernah saya
lihat di Qatar,
mungkin karena pemerintah negara ini dengan tegas melarang warga negaranya dan
orang asing untuk tidak makan dan minum di siang hari di tempat-tempat umum
sampai dengan bulan Ramadhan berakhir.
Walaupun
saya tidak pernah tahu hukuman apa yang akan dijatuhkan kalau melanggar aturan
ini, tapi setidak-tidaknya selama bulan suci ini semua restoran dan toko makanan
konsisten menutup lapaknya di siang hari dan tidak satupun orang yang berani
melanggarnya.
Masuk
waktu sholat Dhuhur di siang hari, masjid-masjid di kota
Bandung penuh
dengan orang yang sholat berjamaah, tadarus Quran, dan tidak kalah banyaknya
orang yang tidur di masjid dan mengobrol dengan suara yang lumayan nyaring walaupun
waktu sholat sudah habis. Walhasil, yang terlihat di masjid adalah deretan
orang tidur bahkan beberapa terdengar sambil mendengkur. Kembali hal ini tidak
saya lihat di Qatar.
Kalaupun ada beberapa orang yang tinggal di masjid setelah sholat berjamaah
selesai, mereka kebanyakan melakukan tadarus Quran dengan tidak mengeraskan
suara.
Suasana
yang tidak berbeda dengan bulan di luar Ramadhan juga terlihat di mal-mal di Bandung. Beberapa
restoran tetap buka seperti biasanya dan beberapa orang bahkan dengan santai
menikmati kopi dan minuman sambil duduk-duduk santai, sebuah pemandangan yang
sulit saya dapati di Qatar.
Cara berpakaian di tempat umum juga tak kalah mengagetkannya. Beberapa gadis
belia yang mengenakan hot pants masih juga terlihat berjalan-jalan di mal-mal di
Bandung. Jangan
berharap anda menjumpai pemandangan ini di Qatar.
Jika
dibandingkan dengan Qatar,
kebanyakan toko di mal di negara yang kaya dengan minyak dan gas alam ini lebih
memilih membuka lapaknya agak lebih siang dan tentu saja tak ada satupun lapak
di area food court melayani pembeli bahkan satu jam sebelum adzan maghrib
berkumandang.
Menjelang
waktu Ashar, suasana di jalan-jalan besar di Bandung terlihat mulai ramai dan macet. Orang
mulai banyak keluar untuk membeli penganan dalam rangka persiapan berbuka. Pedagang
musiman yang menjajakan aneka makanan manis mulai terlihat dimana-mana. Mulai
dari kolak, gorengan (pisang goreng dan kawan-kawannya), dan sup buah dengan
mudah dapat ditemui di depan pertokoan dan gerobak-gerobak di pinggir jalan.
Kembali hal ini tidak saya dapati di Qatar. Orang-orang disana lebih
senang mempersiapkan berbuka di rumah. Cuaca yang panas mungkin salah satu
penyebabnya.
Sholat
berjamaah di masjid setelah adzan maghrib dan berbuka dengan ta’jil juga
terlihat di banyak masjid di kota
“Paris van Java” ini. Tak jauh berbeda, hal ini juga terlihat di masjid-masjid
di Qatar,
negara yang terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022.
Waktu
sholat Isya, masjid di Bandung
terlihat lumayan dipenuhi oleh para jamaah terutama masjid-masjid besar seperti
Masjid Salman, PusDAI, dan Masjid Istiqomah di bilangan Jalan Ciliwung.
Banyaknya jamaah wanita juga terlihat di masjid-masjid tersebut, karena batas
antara jamaah pria dan wanita hanya berupa pembatas kayu. Hal ini sulit saya
jumpai di Qatar.
Di negeri teluk ini, hanya sedikit jamaah wanita (atau mungkin karena saya
jarang melihat) yang mengikuti sholat Isya dan tarawih di masjid. Kalaupun ada,
mereka telah disediakan ruangan khusus biasanya di lantai dua masjid. Pintu
masuk untuk wanita pun dibedakan.
Menjelang
sholat tarawih, setelah sholat Isya berjamaah terlebih dahulu diadakan ceramah
yang biasanya bertema seputaran Bulan Suci Ramadhan. Waktunya bervariasi antara
15 – 20 menit. Saya sangat menikmati sekali ceramah dalam Bahasa Indonesia ini
karena banyak nasihat dan ilmu yang bisa didapat selain ada juga penceramah
yang menyelipkan humor sehingga membuat jamaah tarawih tersenyum. Pada saat
ceramah berlangsung biasanya diedarkan “kencleng” atau kotak sumbangan berupa
kaleng yang diisi oleh jamaah sambil mendengarkan ceramah. Setelah mengisi,
kita harus memberikan kotak “kencleng” tersebut kepada orang yang duduk di
sebelah kanan kita demikian seterusnya. Kotak “kencleng” ini tidak pernah saya
jumpai di Qatar
baik sebelum maupun pada saat ceramah. Waktu ceramah tarawih pun agak sedikit
berbeda. Biasanya di sana,
ceramah diadakan setelah sholat tarawih sebelum sholat witir dan pakai Bahasa
Arab pula. Itulah mengapa saya seringkali walaupun tetap di masjid, tapi sholat
witir sendiri pada saat jamaah yang lain sedang mendengarkan ceramah. Alasan
satu-satunya kenapa tidak mendengarkan ceramah terlebih dahulu adalah karena
saya tidak mengerti Bahasa Arab, itu saja.