Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama FEATURED

Adakah yang Salah dengan Registrasi Kartu SIM Prabayar?

3 November 2017   15:39 Diperbarui: 7 Maret 2018   13:39 7955
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Data resmi yang dikatakan oleh Mendagri, bahwa sampai saat ini masih ada sekitar 9,39 juta penduduk yang belum memiliki KTP elektronik (sumber). Dari sekitar 261 juta penduduk, sebanyak 184 juta diantaranya telah wajib memiliki e-KTP. Dari jumlah itu hingga kini baru sekitar 175 juta yang sudah memiliki e-KTP. Atau 95% penduduk Indonesia yang sudah memiliki e-KTP. 

Hanya 5% yang belum memiliki e-KTP. Sekali lagi, ini dalam katagori e-KTP bukan KTP (manual). Pasti jumlahnya dibawah 5%. Sebab dalam KTP (manual) sekalipun NIK tetap dicantumkan. Contohnya, saudara saya yang belum memperoleh e-KTP tetapi baru memiliki KTP (manual) bisa melakukan registrasi ulang kartu SIM prabayar dengan identitas NIK di KTP manual tersebut. Lalu mengapa kita mempersoalkan angka "dibawah 5%" dan abai atas penduduk mayoritas "diatas 95%"?

Pertanyaan lainya, apakah seorang yang punya NIK dan KK yang sama boleh memiliki nomor SIM Card yang beda dan dapat diregistrasi? Jawabnya: boleh dengan batas 3 (tiga) nomor MSISDN. (vide Pasal 11 ayat (1)). Hanya penjahat "mama minta pulsa" yang dapat memiliki ratusan nomor SIM Card.

ANGGAPAN #3 TENTANG "IBU KANDUNG"

Hal lain yang digunjingkan soal pencantuman nama "ibu kandung" saat registrasi. Padahal faktanya tidak ada pencantuman itu saat registrasi. Memang benar dalam Permen Kominfo 12/2016 dalam Pasal 6 huruf a angka 2 tercantum kalimat " ibu kandung ATAU Nomor KK". Penggunaan kata ATAU adalah pilihan alternatif bukan kumulatif. Dalam prakteknya Kominfo memilih alternatif Nomor KK bukan ibu kandung. Toh, dalam KK juga tercantum nama ibu kandung (dalam big data Dukcapil). Lalu apa masalahnya?

Berkembang isu bahwa data nama "ibu kandung" adalah kode unik pelanggan yang ada dan tersimpan dalam rekening bank. Terus masalahnya apa? Isu terus bergulir yang berhalusinasi bahwa data itu bisa menjebol rekening uang pelanggan di Bank. Bagaimana caranya? Ambilah contoh, saya punya data-data tentang  seorang teman yang memuat: Nama Lengkap, Alamat, NIK, No. KK, Nomor Telpon dan Ibu Kandung, lalu bagaimana caranya saya dapat mencuri uang temanku sendiri di rekening bank miliknya, dengan data-data itu?  

Sementara saya tidak tahu nomor rekening banknya, bank apa saja, dan nomor PIN nya. Sementara ketiga data itu tidak ada tercantum dalam big data Dukcapil. Kesimpulanku sederhana saja, orang yang menyebar bahwa dengan data "ibu kandung" dapat menjebol uang di Bank, hanya halusinasi. Baik secara logis maupun fakta tidak akan pernah bisa dilakukan.

Data-data itu justru ada saat seseorang melakukan registrasi wajib pajak. Menurut Perppu 1 tahun 2017, Dirjen Pajak dapat meneropong nomor rekening pribadi dan transaksi yang dilakukan. Justru kebijakan ini lebih rentan karena tercantum data tentang rekening bank, ketimbang  data sekedar NIK atau KK dalam registrasi ulang kartu SIM prabayar.

ANGGAPAN #4 TENTANG KEBOCORAN "PRIVACY RIGHTS"

Sesungguhnya identitas pelanggan yang disimpan oleh provider sebatas NIK dan Nomor KK tersambung secara online dengan big data Dukcapil Kemendagri. Sehingga data pelanggan akan nampak jelas : Nama, alamat, pekerjaan, tanggal lahir, agama dan golongan darah. Hal ini yang diributkan, sebagai bagian dari hak-hak pribadi (privacy rights).

Ada anggapan bahwa privacy rights itu dapat dibocorkan dan disalahgunakan. Pertanyaannya, apakah pemerintah memberi jaminan untuk melindungi data pribadi pelanggan jasa telekomunikasi? UU No. 36 tahun 1999, Pasal 40 menegaskan hal itu. Pasal 40 menyatakan dengan tegas frasa "setiap orang", artinya siapapun (tidak hanya pemerintah atau provider) yang melakukan penyadapan atas informasi akan mendapat sanksi pidana penjara paling lama 15 tahun (vide Pasal 56). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun