Wacana pembubaran organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) semakin menguat. Mendagri sudah memberi sinyal pembubaran HTI tinggal menunggu waktu. Pun Kapolri dan Menko Polhukam. Alasannya HTI anti Pancasila. Menurut pendapat saya, HTI tidak bisa dibubarkan karena alasan HTI anti Pancasila.
Alasan saya: Pertama, pembubaran suatu organisasi harus beralasan hukum. Jika HTI dianggap sebagai Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) maka merujuk pada ketentuan UU No. 17 Tahun 2013 (selanjutnya disebut UU Ormas). Pembubaran ormas tidak serta merta, ada tahapan-tahapanya. Hingga kemudian Mahkamah Agung memutuskannya. Bila HTI dianggap melanggar, sudah adakah surat peringatan tertulis pertama hingga ketiga dari Kemendagri atau Pemda (jika cakupannya daerah).
Kedua, Azas HTI yang tertulis dalam dokumen aktanya adalah Islam. Azas Islam tidak bertentangan dengan azas Pancasila. Azas yang bertentangan dengan Pancasila adalah Komunisme dan Atheisme. Begitu bunyi penjelasan UU Ormas. Tidak ada yang salah pada HTI, menggunakan azas Islam dan itu tidak bertentangan dengan Pancasila.
Ketiga, jika Polri atau Mendagri merujuk pada kegiatan-kegiatan HTI yang kerap menyerang ideologi Pancasila itu masalah kejahatan perorangan. Tidak bisa ditimpakan kepada badan hukum organisasi. Polri dapat menyeret pelaku tersebut dengan menggunakan KUHP. Bahwa beberapa aktivis dan kader HTI dalam dakwah dan orasi politiknya menyerang Pancasila tidak bisa serta merta kesalahan itu ditimpakan kepada HTI sebagai organisasi.
Keempat, ini yang paling penting. Pembubaran Ormas hanya terjadi –dengan tahapan-tahapan—jika ormas tersebut terdaftar di Kemendagri khususnya Dirjen Kesbangpol. Sementara HTI tidak terdaftar di Kemendagri.
Benar HTI pernah terdaftar di Kemendagri tahun 2006 dengan dikeluarkannya Surat Keterangan Terdaftar (SKT) No. 44/D.III.2/VI/2006. Tetapi masa berlaku SKT ini hanya dua tahun. Setelahnya harus mendaftar ulang. Sejak tahun 2008, HTI tidak pernah lagi mendaftar di Kemendagri. Dan ini diakui oleh Juru Bicara HTI. HTI hanya terdaftar di KemenkumHAM dengan status sebagai badan hukum “perkumpulan”NO: AHU-00282.60.10.2014.
Lalu apa tindakan pemerintah yang dapat dilakukan? Saya mengusulkan : HTI diputuskan sebagai organisasi terlarang. Diumumkan oleh Menkopolhukam. Jika dibubarkan lebih pada tendensi hukum, maka penetapan sebagai organisasi terlarang bertendensi politik. Karena hukum tidak cukup untuk manjangkaunya. Mengapa? Mari kita perhatikan baik-baik:
Pemerintah khususnya Mendagri berulang-ulang di media massa menempatkan HTI sebagai Ormas Nasional. Begitupun Kapolri. Salah besar. HTI bukan Ormas Nasional sehingga tidak bisa diverfikasi menggunakan UU Ormas.
HTI bukan Ormas. HTI adalah Partai Politik. Hal ini bukan lantaran arti Hizbut Tahrir adalah “partai pembebasan” tetapi dari dokumen resmi dan pernyataan resmi yang dikeluarkan “Hizbut Tahrir adalah partai politik berideologikan Islam”. Seharusnya pemerintah dalam hal ini KemenkumHAM, memverifikasi HTI menggunakan UU Partai Politik, bukan UU Ormas yang kemudian keluar badan hukum “perkumpulan”.
Sebagai partai politik, HTI tidak berurusan dengan Kemendagri tapi dengan KemenkumHAM yang akan memverifikasi HTI sebagai partai politik. Saya hanya mengingatkan tidak semua, atai tidak harus partai politik ikut Pemilu. Sebab partai politik yang ingin jadi peserta pemilu harus diverifikasi oleh KPU dengan UU Pemilu.
Lalu apakah UU Partai Politik atau UU No. 2 Tahun 2011 dapat menjangkau keberadaan HTI. Tidak !. UU Partai Politik Indonesia hanya sebatas memverifikasi partai politik nasional. Partai politik yang didirikana dan keberadannya hanya ada dalam wilayah Republik Indonesia. Sementara HTI merupakan “cabang” atau “bagian” dari Hizbut Tahrir yang berskala Internasional. Sampai saat ini, belum ada klausul khusus dalam UU Parpol atau UU khusus, untuk memverifikasi partai politik berskala Internasional.
Bilapun terpaksa menempatkan HTI sebagai Ormas, maka rujukan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 58 tahun 2016 bisa digunakan. Bahwa HTI adalah “ormas” Internasional, atau pendiriannya berasal dari warga negara asing. Itupun tidak bisa dilakukan.
Untuk mendapat SKT sebagai “ormas asing”, maka salah satu syaratnya harus ada izin prinsip dari Kementrian Luar Negeri. Salah satu pertimbangganya memperhatikan hubungan bilateral Indonesia. Namun yang jadi masalah, dimana kantor pusat HT ? Di Inggris, Palestian atau Yordania? Sampai sekarangpun tidak terang. Lalu bagaimana Kemenlu akan menerbitkan izin Prinsip. Itu jika HTI dianggap Ormas Asing, sedangkan faktanya HTI adalah partai politik asing. Tidak atau belum ada aturan hukum yang menjangkaunya.
Bila demikian, alasan politik yang dapat dijadikan alasnya. Tidak lagi dibawah naungan Kemendagri (karena bukan Ormas) atau tidak dibawah KemenkumHAM (karena bukan partai politik nasional) tapi dibawah Menkopolhukam. Melibatkan semua unsur kementrian dan lembaga negara lain untuk memutuskannya.
Kementrian Luar Negeri dapat memberi pandangan dan rekomendasi atas keberadaan HT di negara-negara sahabat yang telah melarang keberadaan HT. Kementrian Agama, dapat memberi pandangan atas ajaran dan model dakwah yang bertentangan dengan Islam (sebagaimana Mufti Rusia dan Majelis Ulama Malaysia telah lakukan). BNPT memberi pandangan atas adanya hubungan antara Al-Muhajirun, faksi militer HT yang berhubungan dengan ISIS. Kepolisian membuka rentetan keterlibatan kasus para pengurus dan aktivis HTI dalam tindakan makar, kekerasan dan ujaran kebencian. Diantaranya Gatot Saptono, Alvian, dan Munarman. Dan pandangan dari beberapa lembaga non departmen lainnya. Sehingga diambil putusan bahwa HTI adalah organisasi terlarang.
Konsekwensi dari putusan ini, semua kegiatan HTI dapat dibubarkan oleh Kepolisian dengan dasar bahwa HTI adalah organisasi terlarang.
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H