Implikasi kedua, bila membaca konstruksi dari tuduhan penodaan terhadap agama, maka penggunaan sanksi pidana melalui Pasal 156a KUHP adalah jalan akhir atau t bersifat ultimum remedium. Tidak bisa pengadilan serta merta menjatuhkan pidana, tanpa melalui proses sebagaimana Pasal 2 dan Pasal 3 UU Pencegahan Penodaan Agama sebutkan. Yaitu, harus didahului dengan perintah dan peringatan keras untuk menghentikan perbuatan didalam suatu Keputusan Bersama 3 Menteri (Menteri Agama, Menteri/Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri). Pengadilan harus membuktikan terlebih dahulu adakah bukti surat berupa Keputusan Bersama 3 Menteri atas kasus Ahok ini? Faktanya memang tidak ada. Perintah harus adanya Keputusan Bersama 3 Menteri ditegaskan kembali dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK No.84/PUU-X/2012.
Implikasi ketiga, secara politis, Pasal ini penuh pertentangan di masyarakat. Sejak masuk zaman Reformasi segala hal keputusan perundangan yang berasal dari Perpres dan PNPS, diminta untuk dihapuskan. Karena konsider (pertimbangan dan dasar hukum) pembentukannya sudah dicabut dan tidak berlaku lagi. Oleh karena itu Pasal ini telah dua kali diuji materi ke Mahkamah Konstitusi. Dan ada keinginan pemerintah untuk merevisi dan mengganti UU Pencegahan Penodaan Agama.
Ringkasnya, Ahok dituntut oleh JPU sebagai pihak pesakitan karena menghina golongan (Pasal 156 KUHP) bukan menghina agama (Pasal 156a KUHP). Jadi judul-judul pemberitaan di media massa sepatutnya merujuk pada tuntutan JPU di pengadilan. Secara hukum Ahok menghina golongan. Lantas apakah benar tuntutan JPU itu, kita tunggu saja putusan Majelis Hakim.
Salam Kompasiana.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI