Saya kutipkan “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan KPK berwenang memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang SESEORANG bepergian ke luar negeri” (vide Pasal 12 ayat (1) huruf b UU No 30 Tahun 2002). Kata “seseorang” disini bisa diartikan tersangka, terdakwa, saksi bahkan ahli.
Minta Presiden Mencabut
Asumsi DPR – atau setidaknya Fahri Hamzah – mengirim nota keberatan ke Presiden, karena Dirjen Imigrasi yang berwenang mencegah seseorang ke luar negeri adalah bawahan Menteri Hukum dan HAM. Dan MenkumHAM adalah bawahan Presiden. Berharap Presiden bisa memerintahkan Menteri selanjutnya Dirjen untuk mencabut pencekalan Setya Novanto. Padahal tidak demikian.
Pihak yang mencegah Setya Novanto ke luar negeri adalah KPK. Dengan dasar Pasal 12 ayat (1) huruf b UU KPK, KPK memerintahkan (bahasanya tegas MEMERINTAHKAN) kepada Dirjen Imigrasi untuk mencekal Setya Novanto. Sedangkan Dirjen Imigrasi menggunakan UU Imigrasi, Pasal 16 dan Pasal 91. Dengan bahasa yang lebih halus “atas permintaan pejabat yang berwenang”.
Lalu siapakah pejabat yang berwenang? Pasal 91 menyebut: Menteri Keuangan, Jaksa Agung, Kapolri, Ketua KPK dan Kepala BNN. Sialnya, lembaga kepresidenan tidak disebutkan sebagai pihak yang berwenang memerintahkan untuk mencekal atau mencabut pencekalan. Sementara pencekalan Setya Novanto ke luar negeri adalah perintah KPK. Dan KPK bukan bawahan Presiden. Bagaimana mungkin Presiden meminta KPK mencabut pencekalan Setya Novanto?
Salam Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H