Mohon tunggu...
HENDRA BUDIMAN
HENDRA BUDIMAN Mohon Tunggu... Freelancer - Swasta

Setiap tempat adalah sekolah, semua orang adalah guru

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Peran KPK Dalam Penyelamatan Sumber Daya Alam

23 Maret 2015   09:42 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:15 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_404799" align="aligncenter" width="624" caption="Lembaga Antikorupsi, KPK (KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)"][/caption]

Terus terang saya belum memahami benar apa Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam itu?. Dengan ditandatanganinya nota kesepahaman bersama 29 kementerian/lembaga serta 12 pemerintahan provinsi di Istana Negara, Jakarta(19/3).Khususnya pemberantasan korupsi untuk bidang kelautan, kehutanan dan perkebunan. Sebagaimana yang ditulis oleh Bapak Axtea 99 lewat artikel berjudul KPK dan Penyelamatan Sumber Daya Alam yang bersumber – salah satunya -- dari media Kompas online. Ketidakpahaman saya disebabkan belum membaca lengkap isi dari nota kesepamahan itu. Apa bentuk rencana aksinya?. Dalam pemberitaan di Kompas cetak menyebutkan isi nota kesepahaman tersebut berisi sebanyak 58 program. Untuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan meliputi penyelesaian status kawasan hutan, penyelesaian konflik, perluasan wilayah kelola untuk masyarakat, optimalisasi pendapatan negara, dan upaya pencegahan korupsi.

Secara sekilas saya membaca di media, upaya pencegahan yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diantaranya merekomendasi kepada kementrian terkait untuk mencabut izin perusahaan yang bermasalah, non clean and clear. Seperti merekomendasi dicabutnya sekitar 200 izin usaha pertambangan (IUP) di 12 provinsi. Tugas supervisi dengan ditempatkannya staff KPK menjadi analis dan liaison officer di beberapa kementrian dan Pemdaprov.

Namun Presiden Jokowi menyatakan bahwa Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alamtidak sebatas pencegahan melainkan juga penegakan hukum dan penindakan. Lalu seperti apa bentuk pembaruan penindakan yang dilakukan oleh KPK? Jika tidak ada trobosan dan pembaruan pada penindakan kejahatan sumber daya alam, menurut saya gerakan itu hanya sekedar wacana yang tidak punya pengaruh apapun.

Saya ambil contoh kasus Amran Batalipu, Bupati Buol, Sulawesi Tengah dan kasus Hartati Murdaya. Kasus suap untuk penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan lahan kelapa sawit milik PT. Cipta Cakra Murdaya. Jaksa KPK mendakwa Amran dengan Pasal 12 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 64 KUHP, dengan tuntutan 12 tahun penjara. Sedangkan Hartati dijerat dengan Pasal 5 ayat (1) huruf a UU Tipikor juncto Pasal 64 Ayat (1) juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Saya melihat Jaksa KPK menuntut kejahatan ini sebatas menggunakan UU Tipikor dan KUHP. Lalu apa bedanya dengan tindak pidana korupsi lain? Padahal apa yang dilakukan oleh Amran dan Hartati sudah termasuk bentuk kejahatan sumber daya alam (dalam contoh ini : perkebunan).

Jika KPK lewat penyidik maupun penuntut hanya terpaku pada dua undang-undang di atas, apa urgensinya Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam dalam konteks penindakan dan penegakan hukum?

Apa yang saya kemukakan ini bukan tanpa alasan. Sekitar bulan Desember 2012, sudah ada nota kesepahaman enam lembaga negara untuk memperkuat penegakan hukum atas kasus-kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup. Konkritnya menggunakan pendekatan banyak pintu atau multi-door. Saat penandatanganan nota kesepahaman tersebut hadir Ketua KPK, Abraham Samad.

Gagasan multi-door yang berasal dari Satgas REDD+,ditindaklanjuti dengan program aksi berupa pelatihan dan seminar –hingga Desember 2012 – untuk 306 hakim, jaksa, polisi dan PPNS tentang penerapan multi-door (sumber).

Pendekatan multi-door (akan) diberlakukan untuk pelaku kejahatan korupsi kasus-kasus sumber daya alam dan lingkungan hidup. Dimana pelakunya dapat dikenakan dakwaan berlapis dengan menggunakan pelbagai peraturan perundangan antara lain undang-undang Lingkungan Hidup, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. Dengan asumsi bahwa kejahatan korupsi di bidang Lingkungan hidup termasuk katagori kejahatan yang bersifat bersifat sindikasi, sistemik dan terorganisir. Untuk menimbulkan efek jera, terdakwa dikenakan sanksi berat dengan menggunakan pelbagai peraturan perundang-undangan. Atau istilah Komjen Pol. Sutarman, Kepala Bagian Reserse Kriminal Polri (saat itu), dalam penegakan hukum terpadu, memberantas kejahatan lingkungan tak hanya menerapkan satu undang-undang tetapi menggabungkan undang-undang terkait lain.

Pendayagunaan multi rejim hukum atau multi-dooradalah bentuk trobosan hukum yang mendobrak penggunaan rezim hukum tunggal seperti UU Tipikor atau UU Kehutanan saja. Salah satu aspek penting dalam pendekatan multi-door adalah pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability). Pertanggungjawaban pidana korporasi ini penting untuk membuat penegakan hukum lebih efektif, karena bisa menjangkau tidak hanya pelaku lapangan tapi juga perencana dan pengambil keputusan hingga  bisa menimbulkan efek jera lebih kuat terhadap pelaku.

Misalnya UU Kehutanan tidak mengenal korporasi, untuk menjerat direksi yang tidak melakukan secara fisik di lapangan. Maka dapat digunakan UU Lingkungan hidup yang dapat menjerat subyek hukum korporasi. Tentang tindak pidana korporasi sudah ada presedennya. Pada tahun 2011 sembilan perusahaan yang diadili terkait pembakaran lahan. Atau kasus kebakaran hutan yang terjadi Juni 2013 di Riau yang menjerat delapan perusahaan.

Trobosan hukum dengan menggunakan pendekatan multi-door beranjak pada pengalaman selama ini dimana dakwaan atau vonis yang dijatuhkan pada pelaku kejahatan lingkungan sangatlah ringan. Rata-rata sekitar satu tahun penjara. Salah satu hambatannya, jaksa penuntut umum atau jaksa KPK masih menggunakan rezim hukum tunggal. Hanya menggunakan UU Tipikor saja atau KUHP.

Seperti yang disebut di atas, nota kesepahaman tentang penerapan pendekatan multi-door sudah dilakukan pada tahun 2012. Tetapi pada prakteknya –seperti contoh kasus Amran dan Hartati di atas pada tahun 2013 – Jaksa KPK masih terpaku pada rezim hukum tunggal. Alhasil Amran divonis 7 tahun penjara dan Hartati divonis 2 tahun 8 bulan penjara. Padahal jika jaksa KPK menggunakan pendekatan multi-door bisa membuat dakwaan kumulatif. Bukan saja tindak pidana suap yang dikenakan tetapi tindak pidana lainnya. Bisa jadi lahan PT. Cipta Cakra Murdaya patut diduga tidak membayar royalti dan pajak (UU Perpajakan); Berpotensi menerobos areal wilayah yang dilarang (UU Lingkungan Hidup dan UU Tata Ruang); dan yang pasti izin penerbitan sertifikat Hak Guna Usaha dan Izin Usaha Perkebunan yang melebihi 20 ribu hektar telah melanggar UU Perkebunan. Ini belum termasuk UU Pencucian Uang mengalirnya uang suap itu. Terlebih lagi bukan hanya Hartati sebagai individu yang bisa dikenakan pidana, tetapi juga direksi PT. Cipta Cakra Murdayasebagai korporasi bisa dituntut secara pidana maupun perdata. Bila pendekatan multi-door ini digunakan, niscaya hukumannya akan lebih berat dan berlipat-lipat karena menggunakan lintas perundang-undangan. Ujungnya akan mematik efek jera. Dengan begitu tujuan penegakan hukum dalam rangka menyelamatkan asset negara dan sumberdaya alam akan tercapai.

Seringkali nota kesepahaman dan pekikan berupa “gerakan nasional” hanya berhenti ditingkat wacana tanpa tindak lanjut yang konsisten. Senang sekali membuat wacana baru dan nota kesepahaman baru dan abai untuk menindaklanjuti program aksi yang sudah dicanangkan sebelumnya.

Apa yang dibuat pada tanggal 19 Maret 2015 lalu dengan nota kesepakatan pada bulan Desember 2012 lalu punya tujuan yang sama: menyelamatkan aset negara dan sumber daya alam. Bila tujuan sama, mengapa tidak menindaklanjuti saja apa yang sudah dijalankan sebelumnya secara konsisten dan berkelanjutan.

Sebagai warga negara dan kompasioner, saya sangat berharap kejahatan yang bersifat sindikasi, sistemik dan terorganisir seperti kejahatan lingkungan hidup sepatutnya mendapat penderaan yang seberat-beratnya. Tidak sekedar suap belaka yang ditilik, tetapi perusakan sumberdaya alam oleh pengusaha besar yang berkolusi dengan penyelenggara negara telah merampas hak generasi mendatang. Upaya penindakan dan penegakan hukum diawali dengan sikap yang konsisten dari penyidik (polisi, KPK, jaksa, PPNS) dan penuntut (KPK dan jaksa) untuk menggunakan pendekatan multi-door.

Salam Kompasiana.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun